Selasa, 21 April 2015

HAM

ANALISIS IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA

IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik
Pada saat ini HAM telah menjadi issue global, yang tidak mungkin diabaikan dengan dalih apapun termasuk di Indonesia. Konsep dan implementasi HAM di setiap negara tidak mungkin sama, meskipun demikian sesungguhnya sifat dan hakikat HAM itu sama. Dalam hal ini, ada tiga konsep dan model pelaksanaan HAM di dunia yang dianggap mewakili, masing-masing di negara-negara Barat, Komunis-Sosialis dan ajaran Islam. Adanya HAM menimbulkan konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan pelanggaran HAM itu sendiri. Khusus tentang implementasi HAM di Indonesia, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dan belum kondusifnya mekanisme penyelesaiannya,, tetapi secara umum baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan serta dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi. Di indonesia sendiri, Ada beberapa hal yang di anggap sering menyimpang dalam pengimplementasian HAM yaitu hak untuk beragama, hak untuk berpendapat dan hak dalam bidang pendidikan.



1.      Pelaksanaan HAM
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang di bawa manusia sejak ia hidup yang melekat pada esensinya sebagai anugrah Tuhan yang maha kuasa. Bila hak asasi manusia belum dapat di tegak kan maka akan terus terjadi pelanggaran dan penindasan atas Ham baik oleh masyarakat, bangsa, atau pemerintah. Tak bisa di pungkiri bumi sebagai tempat hunian manusia adalah satu. Namun para penghuninya terdiri dari berbagai suku , ras, bahasa, profesi , kultur dan agama. Dengan demikian fenomena kemajemukan tak bisa dihindari.
Hak asasi artinya hak-hak yang didapatkan setiap individu sejak lahir. Di dalam hak asasi itu, sesuai pernyataan umum PBB, agama termasuk salah satunya. Dalam “Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, diterjemahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa” pasal 18 menyatakan :
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Dengan demikian, memilih agama, termasuk tidak beragamaadalah hak sepenuhnya bagi setiap individu tanpa intervensi dari individu yang lain. Melaksanakan ibadah dan mempraktekkannya juga adalah hak asasi, namun ingat, orang lain juga punya hak asasi yang sama yang tidak boleh diganggu dengan pelaksanaan ibadah dan praktek dari agama kita.
Di Indonesia dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”,Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945 ,28I ayat (1) UUD 1945 , Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 .Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 , Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.
Pasal-pasal di atas menunjukkan bahwa di Indonesia mengakui kemajemukan dalam beragama. Jika ditafsirkan secara bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk mengekspresikan fikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.
HAM dalam beragama di Indonesia benar-benar sudah diatur dalam konstitusi negara kita. Namun, masalah implementesinya masih jauh dari harapan kita. Di Indonesia banyak terjadi konflik-konflik yang pemicu utamanya adalah masalah kebebasan dalam beragama. Contoh yang paling nyata yang kemunculannya membuat pihak-pihak tertentu meradang dan menjadikan konflik berkepanjangan adalah kemunculan aliran-aliran sesat di Indonesia. Jika kita membicarakan aliran-aliran sesat di Indonesia pasti akan bermuara pada satu agama yaitu Islam. Banyak sekali aliran-aliran yang bernuansa Islam namun ajarannya tidak sesuai dengan ajaran Islam.

            Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa aliran tersebut sesat. Pimpinan Komunitas Eden (Lia) dan Al-Qiyadah (Ahmad Mushadeeq) akhirnya dipenjara. Kasus Alquran Suci tidak begitu jelas penyelesaiannya karena gerakannya yang terkesan sembunyi-sembunyi.Yang masih menyisakan konflik horizontal berkepanjangan adalah Ahmadiyah. Masih segar dalam ingatan kita bentrok antara Front Pembela Islam (FPI) dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni lalu. FPI menduga AKKBB telah mendukung adanya keberadaan Ahmadiyah yang menimbulkan kemarahan umat Islam. Aliran Ahmadiyah menimbulkan gejolak terbesar. Pendukung Ahmadiyah tidak kalah kuatnya dengan penentangnya, dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid hingga para pegiat hak asasi manusia (HAM).
Konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mengandung konotasi positif. Artinya, tidak ada tempat bagi ateisme atau propaganda antiagama di Indonesia. Ini sangat berbeda dengan konsep di AS yang memahami freedom of religion, baik dalam arti positif maupun negatif seperti diungkapkan Sir Alfred Denning bahwa kebebasan beragama berarti bebas untuk beribadah atau tidak beribadah, meyakini adanya Tuhan atau mengabaikannya, beragama Kristen atau agama lain atau bahkan tidak beragama (Azhary, 2004).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan agama (Pasal 18). Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM.
Negara berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal usulnya. Dalam konsep HAM, hak kebebasan beragama masuk ke ranah hak sipil dan hak politik
Hak ini termasuk ke dalam dimensi non-derogable, artinya tidak bisa ditawar atau dikurangi dalam keadaan apa pun sehingga negara harus memenuhinya.Pihak-pihak pro-Ahmadiyah menggunakan pasal-pasal di atas untuk membenarkan dan membela kelompok Ahmadiyah. Mereka menerjemahkan HAM sebagai hak yang sebebas-bebasnya termasuk dalam beragama dan berkeyakinan. Dalam pemahaman secara sempit pendapat ini dapat dibenarkan.Namun, jangan lupa bahwa dalam HAM juga dikenal adanya kewajiban asasi manusia dan pembatasan terhadap HAM itu sendiri. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa: (1) Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 73 UU No.39/1999 tentang HAMKebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang dapat dibatasi demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.
Meski demikian, satu-satunya pihak yang mempunyai otoritas pembatasan HAM adalah negara. Segala bentuk kekerasan dalam mengatasi persoalan agama justru akan kontraproduktif dengan upaya penegakan HAM. Pemerintah harus segera mengambil tindakan pencegahan agar konflik horizontal tidak membesar.Pembubaran atau pelarangan Ahmadiyah bukan satu-satunnya jalan penyelesaian. Usulan dari mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Izha Mahendra agar Ahmadiyah dinyatakan pemerintah sebagai kelompok minoritas non-Islam juga dapat menjadi jalan tengah penyelesaian konflik. Namun, usulan Yusril juga harus diikuti larangan bagi Ahmadiyah untuk menggunakan atribut dan ritual Islam. Karena meskipun dinyatakan sebagai non-Islam apabila ritualnya ada kemiripan maka tetap akan ada konflik.
Peristiwa Monas merupakan hal yang patut disesalkan. Segala bentuk kekerasan dengan alasan apa pun tetap tidak dapat dibenarkan. Semoga ke depan pemerintah tidak akan ragu-ragu dan lambat dalam memutuskan suatu hal yang rentan konflik karena akan dibayar mahal dengan biaya sosial yang tinggi.
Contoh di atas hanya sekelumit persoalan pluralisme dalam beragama di Indonesia. Memang harus diakui kebanyakan permasalahan HAM dalam beragama muncul dari adanya kemunculan aliran-aliran yang bernuansa Islam. Pelaksanaan HAM dalam beragama di Indonesia sendiri masih banyak menyimpang dari Konstitusi negara Indonesia. Hal ini merupakan PR bagi pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat, Lembaga-lembaga pemerintah sebagai wakil rakyat, dan kita sebagai masyarakat yang menginginkan kedamaian. Jika ketiga elemen tersebut mampu bersinergi dan bahu membahu dalam mewujudkan kebebasan beragama maka tidak akan ada lagi konflik agama di dalam negara kesatuan Republik Indonesia ini.

2.      Pelaksanaan HAM dalam Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat
Pendapat secara umum diartikan sebagai buah gagasan atau buah pikiran. Mengemukakan pendapat berarti mengemukakan gagasan atau mengeluarkan pikiran. Dalam kehidupan negara Indonesia, seseorang yang mengemukakan pendapatnya atau pikirannya dijamin secara konstitusional. Hal itu dinyatakan dalam UUD 1945, Pasal 28, bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.Lebih lanjut pengertian kemerdekaan mengemukakan pendapat dinyatakan dalam pasal 1 (1) UU No.9 Tahun 1998, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang yang mengatur kemerdekaan mengemukakan pendapat antara lain diatur dengan Undang-undang No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di Muka Umum. Pengertian di muka umum adalah di hadapan orang banyak atau oarang lain, termasuk tempat yang dapat didatangi dan/ atau dilihat setiap orang.
Adapun cara-cara mengemukakan pendapat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Lisan, contohnya pidato, ceramah, berdialog, berdiskusi, rapat umum.
2. Tulisan, contohnya poster, spanduk, artikel, surat.
3. Cara lain, contohnya foto, film, demonstrasi(unjuk rasa), mogok makan
Mengeluarkan pikiran secara bebas adalah mengeluarkan pendapat, pandangan, kehendak, atau perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis, atau pembatasan yang bertentangab dengan tujuan pengaturan tentan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum (Penjelasan Pasal 5 UU No. 9 Tahun 1998). Warga negara yang menyampaikan pendapatnya di muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secar bebas dan memperoleh perlundungan hukum (Pasal 5 UU No. 9 Tahun 1998). Dengan demikian, orang bebas mengeluarkan pendapat tetapi juga perlu pengaturan dalam mengeluarkan pendapat tersebut agar tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan antar-anggota masyarakat. Pentingnya kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dapat dilihat dalam tujuan pengaturan tentang kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum sebagai berikut (Pasal 4 UU No.9 Tahun 1998):
1. Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;
2. Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
3. Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.
4. kemerdekaan mengemukakan pendapat secarabebasa dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk mendapatkan tanggung jawab sosial kehidupan bermasyarakar, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.

Oleh karena itu, ada beberapa asas yang harus di taati dalam kemerdekaan mengemukakan pendapatdi muka umum (Pasal 3 UU No.9 Tahun 1998), yaitu:
1. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban,
2. Asas musyawarah dan mufakat,
3. Asas kepastian hukum dan keadilan,
4. Asas proporsionalitas, dan
5. Asas manfaat.

Kewajiban dan tanggung jawab warga negara dalam melaksanakan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dn bertanggung jawab di muka umum (Pasal 6 UU No.9 Tahun 1998) terdiri atas:

1. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain,
2. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum,
3. Mentaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
4. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, dan
5. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Pada sisi lain aparatur pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam melaksanakan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab di muka umum (Pasal 7 UU No.9 Tahun 1998), yaitu:

1. Melindungi hak asasi manusia,
2. Menghargai asas legalitas,
3. Menghargai prinsip praduga tidak bersalah, dan
4. Menyelenggarakan pengamanan.

Sedang masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab agar penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai (Pasal 8 UU No.9 Tahun 1998).Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, atau mimbar bebas. Unjuk rasa atau demonstrasi sebagai salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Rapat umum adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum yang dihadiri oleh orang banyak dengan tema tertentu. Adapun pengertian pawai adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan oleh orang banyak dengan cara melakukan perarakan. Sedangkan mimbar bebas adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum yang dihadiri oleh orang banyak dengan bebas, tema dan pembicaraan di lakukan secara bersifat spontan.

Mengemukakan pendapat bagi setiap warga negara dapat dilakuka melalui berbagai saluran. Pada prinsipnya saluran itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu saluran tradisional dan saluran moderen. Saluran tradisional adalah saluran yang sejak dahulu kala sudah merupakan sarana komunikasi antar-manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Saluran-saluran komunikasi tradisional antara lain sebagai berikut:

1. Pertemuan antar-pribadi, misalnya ketika seseorang berkunjung kerumah tetangganya, ketika seseorang bertemu dengan teman atau sahabatnya disuatu tempat, atau ketika seseorang mengirim surat kepada temannya yang jauh.
2. pertemuan atau forum umum yang dihadiri oleh orang cukup banyak, seperti rapat musyawarah yang di lakukan di sekolah, di kantor, di kampung dan sebagainya. Forum ini dapat juga berbentuk pawai, unjuk rasa dan rapat umum di lapangan terbuka.

Adapun saluran atau sarana komunikasi moderen adalah saluran komunikasi yang menggunakan media dengan peralatan atau teknologi moderen. Saluran komunikasi moderen ini dapat dilakukan antar pribadi, tetapi dapat juga dilakukan secara bersama (menjangkau banyak orang). Bentuk-bentuk saluran komunikasi moderen itu antara lain:
1. Saluran komunikasi antar pribadi, seperti telepon (baik melalui kabel maupun non-kabel, seperti handphone), faksimile, dan surat elektronik (e-mail) melalui internet.
2. Saluran komunikasi massa, meliputi dua macam, yaitu media massa cetak dan media massa elektronik. Media massa cetak meliputi: koran, majalah, jurnal, buku, dan terbitan berkala lainnya, seperti liflet, selebaran, dan buletin. Adapun media massa elektronik, mencakup radio, televisi, dan internet.
Penggunaan saluran komunikasi merupakan salah satu perwujudan pelaksanaan hak asasi manusia. Hal itu sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal 28E (3) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dalam ketentuan tersebut berarti setiap orang memiliki hak kebebasan mengeluarkan pendapat. Setiap orang dapat menggunakan berbagai cara, berbagai bentuk, dan berbagai saluran dalam menerapkan kemerdekaan mengemukakan pendapatnya. Hal tersebut sejalan dengan jaminan setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (Pasal 28F UUD 1945). Hak-hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, berupa:
1.      hak untuk berkomunikasi
2.      hak untuk memperoleh informasi
3.      hak untuk memiliki informasi
4.      hak untuk mencari informasi
5.      hak untuk menyimpan informasi
6.      hak untuk mengolah informasi
7.      hak untuk menyampaikan informasi
8.      hak untuk menggunakan segala jenis saluran informasi
Apabila kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas tanpa pertanggung jawaban, maka akan menimbulkan hal-hal ynag bersifat negatif dalam masyarakat. Demonstrasi, pawai, rapat umum, atau mimbar bebas ynag tidak terkendali dapat mengarah pada tindakan pengrusakan, penjarahan, pembakaran, bentrok massal, korban luka, bahkan ada korban meninggal dunia. Oleh karena itu, kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab merupakan hak dan sekaligus juga kewajiaban stiap warga negara di Indonesia. Pembatasan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab tertulis dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 UU No.9 Tahun 1998 seperti telah dijelaskan diatas. Perangkat perundang-undangan dalam mengatur kemerdekaan mengemukakan pendapat pada dasarnya dimaksudkan agar setiap orang dalam mengemukakan pendapatnya dilakukan secara bebas dan bertanggung jawab. Dengan demikian norma-norma masyarakat tetap dijunjung tinggi dalam rangka menghormati hak orang lain. Oleh karena itu, kita hendaknya dapat menghargai kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab.
3.      Pelaksanaan HAM dalam Bidang Pendidikan di Indonesia
 Hak atas pendidikan sebagai bagian dari hak asasi manusia di Indonesia tidak sekadar hak moral melainkan juga hak konstitusional. Ini sesuai dengan ketentuan UUD 1945 (pascaperubahan), khususnya Pasal 28 C Ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Selain ketentuan di atas, Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 (pasca perubahan) juga merumuskan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar, sedangkan pemerintah wajib membiayainya. Pasal 31 ayat (3) dan (4) menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk mengusahakan penyelenggaraan pengajaran nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memprioritaskan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Demikian pula ketentuan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan jaminan hak atas pendidikan. Pasal 60 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memperkuat dan memberikan perhatian khusus pada hak anak untuk memperoleh pendidikan sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya. Penegasan serupa tentang hak warga negara atas pendidikan juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan, negara menjadi pihak utama yang bertanggung jawab untuk menjaminnya. Pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat penegasan bahwa negara — dalam hal ini pemerintah — memiliki tanggung jawab memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
Saat ini secara makro, pendidikan kita memang berhasil mencatat angka-angka signifikan tentang infrastruktur pendidikan yang telah dibangun. Jika dibanding beberapa negara tetangga, peserta didik yang berhasil kita tamatkan dari semua jenjang pendidikan, ditambah dengan pengangkatan tenaga pendidik, kita pun berada di level terdepan. Namun fenomena paradoksal terlihat pada keluaran pendidikan kita, ketika Human Development Index peserta didik kita dibanding negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, sangat tertinggal jauh.
Hal tersebut dipicu oleh cara pandang pendidikan kita yang masih sarat akan pragmatisme dan diskriminasi. Kedua hal tersebut sudah lama menjadi penyakit kronis yang terus menggerogoti sistem pendidikan nasional kita dari waktu ke waktu. Mulai kultur pergantian pejabat tinggi pendidikan yang berimbas pada pergantian sistem dan mekanisme pendidikan sampai pola rekrutmen, promosi, dan pemberian reward and punishment tenaga/pejabat pendidikan, semuanya dilakukan masih dalam konteks pendekatan pragmatis, diskriminatif, dan berbau korupsi.
Paradigma penataan pendidikan seperti itu tak pelak lagi menyulut terjadinya bias efek di hampir semua lini. Sampai sekarang, ada sekitar 20 juta anak usia 7-15 tahun yang belum/tidak tersentuh layanan pendidikan dasar, termasuk mereka yang gagal dari sekolah. Lalu ada 8 juta lebih anak usia 16-20 tahun yang tidak dapat mengecap pendidikan tingkat menengah dan lebih dari 2 juta alumni sekolah menengah umum yang tidak mampu menginjakkan kaki di perguruan tinggi akibat biaya pendidikan yang dari waktu ke waktu terus menggila. Jangankan perguruan tinggi atau SMU, anak-anak usia dini yang didaftar untuk memperoleh pendidikan jenis TK saja pada umumnya sudah mengenakan tarif sampai jutaan rupiah, apalagi jika lembaga tersebut dalam bentuk playgroup, biayanya tentu semakin memperlebar jurang diskriminasi. Tak ayal lagi kebanyakan orang tua dengan penghasilan hanya cukup untuk sekadar mengepulkan asap dapur lebih memilih menelantarkan anak mereka di emper-emper jalan, kerja serabutan, dan berbagai pekerjaan kasar lainnya daripada memasukkannya ke taman-taman pendidikan.
Perilaku destruktif lain di dunia pendidikan mencakup praktek jual-beli nilai dan sogok-menyogok untuk masuk dan tamat dari dunia pendidikan. Banyak guru yang lebih mendahulukan pekerjaan sambilan daripada tugas reguler/pokok, dan memiliki perilaku hobi menerima upeti dari orang tua siswa daripada mendidik siswa dengan sepenuh hati. 
Di zaman kini sudah sulit kita jumpai seorang guru/dosen mengajar dengan persiapan penuh, misalnya dalam hal penguasaan/pembacaan literatur dua-tiga hari sebelumnya disertai alat peraga atau media pembelajaran berbasis teknologi. Umumnya tiba masa tiba akal, datang terlambat, cepat pulang. Dekadensi moral dalam dunia pendidikan sudah bukan cerita baru. Sejumlah oknum guru/dosen terlibat kekerasan hingga pelecehan seksual terhadap peserta didik.
Fenomena buruk seperti ini semakin menambah panjang daftar problematik yang melilit dunia pendidikan kita dewasa ini. Padahal dalam program pembangunan nasional dicanangkan bahwa bangsa kita pada 2015, konon, akan memasuki era kemakmuran ekonomi, sosial, budaya, dan politik, yang ditopang oleh pendidikan yang murah, aksesibel, serta bermutu. Itulah sebabnya, penataan pendidikan nasional kita berbasis kompetensi dengan maksud agar penyelenggara dan peserta didik proaktif mengaktualisasi diri terhadap materi pembelajaran secara simultan.
Sungguh amat disesalkan karena sudah lebih dari dua dasawarsa program tersebut dicanangkan, hingga saat ini tanda-tanda untuk mencapai titik kulminasi justru semakin kabur, suram, dan gelap. Sistem dan mekanisme pengelolaan pendidikan yang selama ini cenderung dirasakan diskriminatif dan pragmatis bukan hanya tidak dapat direduksi, apalagi dihilangkan, malah tampak semakin digalakkan dan tumbuh subur dalam berbagai elemen penyelenggaraan pendidikan.
Salah satu paradigma kebijakan pendidikan kita yang mempertontonkan praktek diskriminasi adalah sekolah bertaraf internasional (SBI) ataupun rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Betapa tidak, karena SBI dan RSBI hanya mengukur prestasi peserta didik semata-mata dari kemampuan akademis. Padahal konsep prestasi kecerdasan bukan hanya prestasi intelektual (IQ), tapi juga kecerdasan emosional (EQ) ataupun kecerdasan spiritual (SQ). Begitu eksklusifnya SBI ini, maka biaya pengadaan fasilitas dan operasional dalam mencapai target kualifikasi SBI tidak disangsikan lagi tentu jauh lebih besar daripada sekolah biasa. Tingkat perhatian otoritas pendidikan dalam bentuk kunjungan kerja hingga kemudahan akses beasiswa dan promosi bagi peserta didik ataupun tenaga pendidiknya pasti lebih intensif daripada sekolah biasa.
Kita memang tidak dapat memungkiri bahwa peradaban modern sebagaimana dicapai dunia Barat karena faktor pembangunan sumber daya manusia. Tapi pembinaan intelektualitas dengan cara pragmatis, linear, dan diskriminatif sebagaimana dikemukakan di atas hanya akan melahirkan jargon intelektualitas unggul dalam ranah ekshibisi dan kontes semata. Penulis berkeyakinan, sebuah peradaban yang bagaimanapun mapannya bukanlah prakarsa orang per orang dari kalangan elite ataupun intelektual tertentu, melainkan hasil kontribusi secara kumulatif seluruh anak negeri tanpa kecuali.

Wawasan Nusantara

Wawasan Nusantara

A. Pengertian dan sejarah singkat timbulnya wawasan nusantara
                  Istilah wawasan nusantara berasal dari kata wawas yang berarti pandangan, tinjauan, atau penglihatan inderawi.Istilah wawasan berarti cara pandang, cara tinjau, atau cara melihat.
Sedangkan istilah nusantara berasal dari kata “nusa” yang berarti pulau-pulau, dan “antara” yang berati diapit di antara dua hal.
Secara umum wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya.
Wawasan nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.

B. Hakekat  Wawasan  Nusantara
            Hakekat wawasan nusantara adalah keutuhan nusantara/nasional, dalam pengertian : cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara dan demi kepentingan nasional.
            Berarti setiap warga bangsa dan aparatur negara harus berfikir, bersikap dan bertindak secara utuh menyeluruh dalam lingkup dan demi kepentingan bangsa termasuk produk-produk yang dihasilkan oleh lembaga negara.

C. Fungsi Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara berfungsi sebagai pedoman, motivasi, dorongan, serta rambu-rambu dalam pembentukan segala kebijakan, keputusan, tindakan dan perbuatan bagi penyelenggara Negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


D. Tujuan Wawasan Nusantara.
Wawasan nusantara bertujuan mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala aspek kehidupan rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan individu, kelompok, golongan, suku, atau daerah. Hal tersebut bukan berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan tersebut tetap dihormati, diakui, dan dipenuhi, selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional atau kepentingan masyarakat banyak. Nasionalisme yang tinggi di segala bidang kehidupan demi tercapainya tujuan nasionali tersebut merupakan pancaran dari makin meningkatnya rasa, paham, dan semangat kebangsaan  dalam jiwa bangsa Indonesia sebagai hasil pemahaman dan penghayatan Wawasan Nusantara.

E. Upaya Melengkapi Wilayah Indonesia Secara Utuh
Politik dalam luar negeri adalah cerminan kepentingan nasional, dan kepentingan nasional Indonesia adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi RI, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan kecerdasan bangsa serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari segi tersebut itu adalah tantangan sekaligus perjuangan bagi diplomasi Indonesia untuk dilaksanakan secara konsisten.

            Dalam perkembangan sejarahnya, setiap periode perjuangan diplomasi Indonesia memang memiliki dinamikanya sendiri-sendiri. Tantangan pada masa awal kemerdekaan yang pasti tidak mudah, tetapi tantangan pada masa-masa berikutnya juga tidak serta-merta menjadi lebih mudah, dan kita dapat menarik pelajaran dari pengalaman generasi-generasi yang sebelumnya. Oleh karena itu pemahaman terhadap sejarah bangsa, termasuk babakan-babakan sejarah diplomasi Indonesia menjadi sangat penting.Pada periode 1945-1950, diplomasi Indonesia menghadapi tantangan berupa tatanan hukum internasional yang tidak selaras dengan kepentingan nasional, yaitu tidak membenarkan adanya kemerdekaan bagi bangsa-bangsa terjajah. Oleh karena itu diplomasi Indonesia pada saat itu tidak mempergunakan argumentasi hukum apalagi hukum internasional. 

            Tetapi dalam periode lain sejarah Indonesia, kita justru mengajukan argumentasi hukum didalam memperjuangkan konsep wawasan Nusantara dalam upaya melengkapi wilayah nasional secara utuh. Misalnya diantara laut jawa dan laut Kalimantan itu ada laut internasionalnya, karena pada saat itu wilayah laut diukur 12 mil dari tepi pantai, sehingga selebihnya merupakan wilayah laut internasional.Konsep wawasan Nusantara adalah upaya kita untuk melengkapi wilayah Indonesia secara utuh, dimana wilayah laut kita diukur dari garis pangkal yang ditarik dari titik terluar dari pulau terluar sejauh 12 mil. Hal ini sangat luar biasa dan merupakan upaya yang tidak mudah karena membutuhkan perjuangan selama 25 tahun, yaitu dari 1958 hingga 1982, saat diterimanya konsep tersebut menjadi konsep internasional.

Perjuangan diplomasi dimasa globalisasi sekarang ini juga tidak kalah pentingnya, dimana Indonesia merupakan bagian dari komunitas global dunia.  Namun dalam realitasnya dan juga ironisnya, ditengah globalisasi yang mengesankan kita dalam artian subjek Negara menjadi penduduk global, ternyata juga terjadi proses integrasi regional, seperti terbentuknya Uni Eropa dan Uni Afrika. Oleh karena itu kemudian Indonesia membentuk ASEAN dan reintegrasi Asia Timur.Ini merupakan sebuah tantangan tersendiri dan menjadi perjuangan diplomasi kita sekarang ini, karena bagaimanapun di era globalisasi ini kita tidak dapat melakukan kompetisi secara individu. Tahap demi tahap ASEAN kita bangun, dan setelah memasuki usia ke 40 tahun kita melihat adanya kebutuhan untuk meningkatkan ASEAN dari sebuah asosiasi menjadi ASEAN Community.  Dengan tiga pilarnya, yaitu Ekonomi, Sosial Budaya serta Politik dan Keamanan, daya lekat kohesi ASEAN itu menjadi besar, sehingga secara kolektif kita memiliki pengaruh daya saing yang lebih besar.

            Disamping itu karena sekarang ini juga diperlukan suatu upaya untuk mendekatkan sisi domestik dengan sisi internasional (intermestik). Inilah yang menjadi tantangan diplomasi Indonesia sekarang, dalam artian bahwa diplomasi Indonesia tidak hanya memproyeksikan kepentingannya keluar, tetapi juga keperluan untuk mengkomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam agar ada pemahaman yang lebih baik.Diplomasi Indonesia juga perlu membangun konstituen diplomasi di masyarakat dari berbagai sektor, yaitu masyarakat yang memahami arah dan sasaran diplomasi politik luar negeri, sehingga dengan demikian diharapkan mereka bisa mengerti dan mendukung kebijakan-kebijakan politik luar negeri yang diambil oleh pemerintah.