Minggu, 15 November 2015

Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku Remaja.

media sosial dan remaja
media sosial dan remaja
saat ini teknologi semakin maju, hadirnya internet adalah suatu anugrah yang semakin dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kegiatan sosialisasi, bisnis, dsb. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh vendor smartphone yang berkembang pesat pengunaannya dan menjadi trend . Hampir semua orang memiliki smartphone , dengan semakin majunya internet dan hadirnya smartphone maka media sosial pun ikut berkembang pesat.
Media sosial merupakan situs dimana seseorang dapat membuat web page pribadi dan terhubung dengan setiap orang yang tergabung dalam media sosial yang sama untuk berbagi informasi serta berkomunikasi. Media sosial mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan memberi feedback secara terbuka, serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. Kalangan remaja yang mempunyai media sosial biasa nya memposting tentang kegiatannya, serta foto-foto. Semakin aktif seorang remaja di media sosial maka mereka semakin dianggap keren dan gaul dan sebaliknya remaja yang tidak mempunyai media sosial biasanya dianggap ketinggalan jaman, dan kurang bergaul.
Media sosial menghapus batasan-batasan dalam bersosialisasi. Dalam media sosial tidak ada batasan ruang dan waktu, mereka dapat berkomunikasi kapanpun dan dimanapun mereka berada. Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang. Bagi kalangan remaja, media sosial seakan sudah menjadi candu, tiada hari tanpa membuka media sosial, bahkan hampir 24 jam mereka tidak lepas dari smartphone. Masing-masing media sosial mempunyai keunggulan khusus dalam menarik banyak pengguna media sosial yang mereka miliki.Para pengguna media sosial pun dapat dengan bebas berkomentar serta menyalurkan pendapatnya tanpa rasa khawatir. Hal ini dikarenakan dalam internet khususnya media sosial sangat mudah memalsukan jati diri atau melakukan kejahatan.
Dalam kajian sosiologi, maraknya media sosial erat hubungannya dengan bagaimana kita bersosialisasi, berteman, berinteraksi. Dengan munculnya media sosial tersebut kita mampu berkomunikasi satu sama lain, dalam ilmu sosiologi hal tersebut dinamakan bentuk komunikasi langsung. Komunikasi langsung dapat diartikan sebagai salah satu cara berinteraksi antara seseorang dengan orang lain secara langsung, baik melalui chat maupun melalui pesan.Jadi hubungan media sosial dengan ilmu sosiologi sangat erat. Dengan media sosial kita mampu berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lain, bukan hanya itu kita juga bisa mendapatkan teman baru dan kita juga bisa saling sharing atau berbagi ilmu dan juga bisa memecahkan masalah yang sedang dihadapi di masyarakat. Apabila kita menyalahgunakan media sosial tersebut, kita akan membuat masalah bukan menyelesaikan masalah.
Media Sosial di Kalangan Remaja
Remaja adalah manusia yang tumbuh menjadi dewasa. Remaja mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja menunjukan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Masa remaja merupakan masa transisi sebab pada saat itu, seseorang telah meninggalkan masa kanak-kanak namun ia juga belum memasuki masa dewasa. Remaja saat ini sangat ketergantungan terhadap media sosial. Mereka begitu identik dengan smartphone yang hampir 24 jam berada di tangan dan sangat sibuk berselancar di dunia online yang seakan tidak pernah berhenti. Melihat hal ini, Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN) bersama Yahoo! melakukan riset mengenai penggunaan internet di kalangan remaja. Hasilnya menunjukkan, kalangan remaja usia 15-19 tahun mendominasi pengguna internet di Indonesia sebanyak 64%.
Penggunaan media sosial di kalangan remaja ini juga menimbulkan pro dan kontra. Penggunaan media sosial seringkali mengganggu proses belajar remaja, sebagai contoh ketika sedang belajar lalu ada notification chatting dari teman yang akhirnya dapat mengganggu proses belajar, dan kebiasaan seorang remaja yang berkicau berkali-kali di Twitter yang terkadang hanya untuk mengeluhkan betapa sulit pelajaran yang sedang dia kerjakan.
Tidak berhenti sampai di situ saja. Yang lebih parah ada beberapa kasus seorang remaja yang dilaporkan hilang oleh orangtuanya yang ternyata kabur dengan teman yang baru dikenalnya di Facebook. Lalu apa yang menyebabkan seorang remaja begitu aktif di jejaring sosial? Dalam sebuah penelitian dinyatakan, media sosial berhubungan dengan kepribadian introvert. Semakin introvert seseorang maka dia akan semakin aktif di media sosial sebagai pelampiasan. Peran orangtua sangat dibutuhkan sebagai pengawas dan juga sosok yang memahami anak. Keluarga harus dapat memberikan fungsi afektif agar seorang anak mendapatkan perhatian yang cukup.
Di kota besar seperti Jakarta, seringkali para remaja mengalami kekosongan karena kebutuhan akan bimbingan orangtua tidak ada atau kurang. Hal ini disebabkan karena keluarga mengalami disorganisasi. Pada keluarga yang secara ekonomis kurang mampu, hal tersebut disebabkan karena orang tua harus mencari nafkah, sehingga tidak ada waktu sama sekali untuk memperhatikan dan mengasuh anak-anaknya. Sedangkan pada keluarga yang mampu, persoalannya adalah karena orang tua terlalu sibuk dengan urusan-urusan di luar rumah dalam rangka mengembangkan prestise.
Kalangan remaja yang menjadi hiperaktif di media sosial ini juga sering memposting kegiatan sehari-hari mereka yang seakan menggambarkan gaya hidup mereka yang mencoba mengikuti perkembangan jaman, sehingga mereka dianggap lebih populer di lingkungannya.
Namun apa yang mereka posting di media sosial tidak selalu menggambarkan keadaan social life mereka yang sebenarnya. Ketika para remaja tersebut memposting sisi hidup nya yang penuh kesenangan, tidak jarang kenyataannya dalam hidupnya mereka merasa kesepian. Manusia sebagai aktor yang kreatif mampu menciptakan berbagai hal, salah satunya adalah ruang interaksi dunia maya. Setiap individu mampu menampilkan karakter diri yang berbeda ketika berada di dunia maya dengan dunia nyata. Hal ini dalam sosiologi disebut dengan istilah dramaturgi atau presentasi diri untuk menjelaskan bagaimana seseorang menampilkan diri pada lingkungan atau panggung tertentu.
Teori dramaturgi dipopulerkan oleh Erving Goffman yang pada intinya untuk memahami perilaku manusia dalam kehidupan sosial seperti sebuah pertunjukan drama. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain.
Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Setiap individu adalah aktor yang berusaha membuat pertunjukan dramanya sendiri. Dalam mencapai tujuannya, para remaja berusaha mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Aktor juga harus memperhitungkan setting, kostum, penggunaan kata dan lainnya untuk meninggalkan kesan baik pada lawan interaksi dan memudahkan jalan untuk mencapai tujuan yang oleh Goffman disebut manajemen daya tarik.
Goffman juga melihat perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage ) dan di belakang panggung (back stage). Front stage adalah ketika adanya penonton yang melihat kita dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton simpatik. Sedangkan back stage adalah keadaan di mana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi tidak ada penonton, sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa memperdulikan peran yang harus kita bawakan. Apabila bisa dilakukan dengan baik, penonton akan termanipulasi dan melihat aktor sesuai sudut yang ingin ditampilkan oleh aktor tersebut.
Namun segalanya berubah ketika kita melihat para remaja tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Panggung tempat mereka bermain adalah panggung back stage, tidak ada penonton dari teman-teman nya di media sosial, mereka menampilkan peran yang berbeda dengan apa yang mereka bangun di panggung front stage .
Sehingga tidak mengherankan jika suatu saat kita bertemu dengan seseorang yang berbeda jauh ketika berada di Twitter dengan ketika berada di realitas nyata. Contohnya, seseorang yang kita lihat sangat humoris dan banyak berbicara di dunia maya, tetapi ketika berinteraksi dalam kehidupan nyata ternyata ia adalah sosok yang pemalu dan pendiam. Namun biasanya yang dapat melihat peran back stage seseorang adalah keluarganya, karena keluarga tentu sudah tahu sifat asli dari remaja tersebut. Mereka tidak perlu membangun suatu panggung ketika berinteraksi dengan keluarga nya sendiri.
Para penonton remaja yang sedang berakting di front stage seringkali tertipu dan tidak dapat lagi membedakan apakah kehidupan serta image seorang remaja yang mereka lihat di sebuah media sosial adalah diri mereka yang sebenarnya atau yang palsu. Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, realitas telah hilang dan menguap. Kini kita hidup di zaman simulasi, di mana realitas tidak hanya diceritakan, dipresentasikan, dan disebarluaskan namun juga dapat direkayasa, dibuat dan disimulasi. Baudrillard memandang era simulasi dan hiper-realitas sebagai bagian dari rangkaian fase citraan yang berturut-turut.
Baudrillard menyatakan bahwa kita terbiasa hidup dalam cermin fantasi, dalam diri yang terbagi dan dalam alienasi. Saat ini kita hidup dalam fantasi sebuah layar, dan jaringan. Seluruh mesin kita adalah layar-layar. Kita pun akan menjadi layar dan interaksi manusia akan berubah menjadi interaksi pada layar. Kita dalah citra bagi satu sama lain, dimana satu-satunya takdir bagi sebuah mahluk citra adalah menjadi pengikut citra dalam layar.
Pernyataan Baudrillard bahwa “saat ini kita hidup dalam fantasi sebuah layar, dari sebuah antarmuka, dalam persentuhan dan jaringan,” sesuai dengan kenyataan bahwa manusia di masa kini yang terkoneksi antara satu dengan yang lain melalui penggunaak smartphone maupun tablet meningkatkan kemudahan manusia untuk terhubung pada manusia lain melalui jaringan internet dan tentunya layar.
Manusia akhirnya menjadi teralienasi dengan lingkungan sosial dengan lingkungan sekitar mereka, karena mereka sibuk dengan gadget masing-masing. Mereka terjebak dalam pencitraan di dunia virtual, baik dalam menciptakan citranya sendiri maupun dalam memandang manusia lain. Ini pun sesuai dengan pernyataan Baudrillard, “kita terbiasa hidup dalam cermin fantasi, dalam diri yang terbagi dan dalam alienasi.”

Manusia saat ini terhubung dengan berbagai aplikasi media sosial yang membantu mereka untuk terhubung dengan manusia lain yang bisa berjarak ribuan mil melalui layar dan jaringan. Namun pada saat yang sama membuat jarak dengan mereka yang dekat dan mengalienasi mereka dengan lingkungan sosialnya. Manusia pun terjebak menjadi mahluk citra, baik dalam artian secara harfiah maupun secara kiasan.
sumber http://mudazine.com/

Senin, 01 Juni 2015

demokrasi.jawab soal pkn

1. Apakah yang dimaksud dengan Demokrasi?

    a. demokrasi apa yang kita anut,berikan alasan.
    b. apakah demokrasi yang kita anut sudah sesuai antara impementasi dengan teorinya? Jelaskan !
    c. Apakah demokrasi tersebut sudah ideal untuk kondisi bangsa Indonesia?
2 Apa dan bagaimana geostrategis di indonesia? Jelaskan!
3. Bagaimana pola manajemen pemerintahan dalam pembangunan nasional untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional?
4. Berikan pendapat kalian mengenai sistem pemerintahan pada era soeharto,SBY,dan Jokowi!
5. Apa yang harus dilakukan untuk menjaga ketahanan nasional?
 JAWAB

1. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani dēmokratía "kekuasaan rakyat",yang terbentuk dari dêmos"rakyat" dan  kratos "kekuatan" atau "kekuasaan" Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi perwakilan.
  a. DEMOKRASI REFORMASI (21 Mei 1998 - Sekarang)
Demokrasi yang dikembangkan pada masa reformasi pada dasarnya adalah demokrasi dengan mendasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dengan penyempurnaan. Meningkatkan peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi Negara dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:
1.         Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998
2.         Ketetapan No. VII/MPR/1998
3.         Tap MPR RI No. XI/MPR/1998
4.         Tap MPR RI No. XIII/MPR/199
5.         Amandemen UUD 1945
           
b. demokrasi politik yang kelewat batas dan memperbolehkan orang awam politik untuk berlomba memperebutkan kursi DPR sebagai anggota legislative karena alasan jaminan kesejahteraan hidup bagi dirinya dan keluarga. Sungguh ironis jika kita melihat banyaknya public figure (artis) berlomba menyalonkan diri menjadicalon legislative. Saat ini demokrasi yang terlihat bukan lagi berpegang teguh pada asas demokrasi yang mengatas namakan rakyat diatas kepentingan pribadi,melainkan mengatas namakan kepentingan partai dan pribadi diatas kepentingan rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah berubah haluan menjadidari partai, oleh partai dan untuk partai. Dengan keadaaan seperti ini siapa yang patut dipersalahkan?Munculnya Kekuatan Politik Baru Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan yang panjang oleh mahasiswa, rakyat dan politisi, kondisi politik yang dihasilkan tidak mengarah ke perbaikan yang signifikan. Memang secara nyatakita bisa melihat perubahan yang sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadiera penuh keterbukaan. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak hasil positif lain. Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat. Begitupun di sector pendidikan. Mahalnya biaya untuk mengenyam pendidikan menjadi salah satu factor ketidakberkembangnya generasi muda.

Akibat dari semua hal diatas, representasi keberagaman kesadaran politik masyarakat ke dunia public pun menjadi minim. Demokrasi yang terjadi diIndonesia kini, akhirnya hanya bisa dilihat sebagai demokrasi elitis, dimanakekuasaan terletak pada sirkulasi para elit politik. Rakyat hanya berfungsi sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok elit yang sebaiknya memerintahmasyarakat.Lalu saat ini muncullah pertanyaan mengenai pemilihan demokrasi untuk Indonesia. Pertanyaan yang muncul adalah,
”Jika reformasi dan kerusuhan 1998 juga belum dapat menentukan bagaimana model demokrasi yang cocok bagiIndonesia, apakah demokrasi memang tidak cocok bagi Indonesia?” untuk 
mencoba menjawab pertanyaan diatas, saya ingin menekankan untuk memisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik dengan demokrasi sebagai sebuah nilai.Demokrasi adalah sebuah nilai yang memberikan kebebasan dan partisipasi masyarakat. Dengan demokrasi, para warga negara dapat dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Maksudnya, setiap individu berhak menentukan segala ha lyang dapat mempengaruhi kehidupannya, baik dalam kehidupan personal maupunsosial. Selain itu, demokrasi juga adalah cara yang efektif untuk mengontrolkekuasaan agar tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang.Masa transisi demokrasi di Indonesia yang masih belum menunjukan kehidupan demokrasi yang baik lebih dikarenakan negara hukum yang menjadi landasan Indonesia belum dapat menjanjikan demokrasi. Persyaratan untuk menuju terbentuknya negara demokrasi akhirnya memang sangat bertumpu pada prosesreformasi hukum. Hukum harus diciptakan dan ditegakkan untuk memberikan jaminan berkembangnya masyarakat terlebih kepada generasi muda yang mampumenopang pemerintahan yang demokratis. Hukum harus dikembangkan untuk memperkuat masyarakat sipil (civil society) agar mampu mampu mengontrol dan memantau pemerintah ketika menjalankan kekuasaannya. Supaya tidak terjadi penyalah gunaan wewenang dan kekuasaan. Kita pun harus menjunjung hak asasikita sebagai warga masyarakat yang bebas berpendapat asalkan tahu batasan- batasannya.
c.Untuk mencari format ideal bagi masa depan demokrasi Indonesia, harus dicari terlebih dahulu apa permasalahan sebenarnya dari proses demokratisasi di Indonesia. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, kentalnya nuansa yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok adalah persoalan besar yang mewarnai perjalanan demokrasi di Indonesia. Sikap seperti ini apabila terus dibiarkan akan berakibat buruk bagi masa depan demokrasi Indonesia. Bisa jadi Indonesia akan gagal kembali dalam membangun demokrasi jika sikap ini terus dilestarikan.

Oleh karena itu, format demokrasi ideal bagi Indonesia adalah format yang dapat membendung sikap untuk mementingkan diri sendiri tersebut. Sistem yang dibangun negara ini harus memungkinkan rakyat mengontrol langsung jalannya kekuasaan elit. Manakala elit politik yang diberi mandat rakyat terbukti lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya, maka rakyat dapat mencabut mandat itu. Bagaimana melaksanakannya?

Pertama, sistem pemilihan umum yang digunakan harus menggunakan sistem distrik. Sistem distrik memungkinkan rakyat memilih langsung individu yang dipercayainya untuk menduduki kursi legislatif. Dalam sistem distrik rakyat memilih orang, bukan memilih partai. Rakyat dapat mengontrol langsung wakil yang mereka pilih. Akibatnya, wakil rakyat harus memberikan pertanggungjawaban secara langsung kepada rakyat, bukan kepada partai. Sehingga, wakil rakyat memiliki akuntabilitas politik yang tinggi.Dengan demikian, situasi yang mungkin timbul adalah anggota legislatif akan lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan partainya, sebab posisinya di parlemen akan sangat ditentukan oleh rakyat yang dia wakili, bukan oleh partai tempat dia bergabung.

Sayangnya, realitas politik yang saat ini terjadi di parlemen menunjukkan bahwa sistem ini tidak akan dipakai. Para anggota DPR yang membahas RUU Pemilu ternyata lebih memilih menggunakan sistem proporsional seperti yang digunakan di masa Orde Baru. Dengan sistem ini, berarti rakyat harus memilih partai, bukan memilih orang. Penentuan individu yang duduk dalam kursi legislatif ditentukan oleh partai. Jadi, pertanggungjawaban politik anggota legislatif nantinya kepada partai, bukan kepada rakyat. Sehingga, kemungkinan munculnya sikap mementingkan kelompok amat besar terjadi. Keputusan Pansus RUU Pemilu ini sebenarnya keputusan yang jauh mundur ke belakang. Di saat rakyat menginginkan sebuah sistem yang memungkinkan rakyat mengontrol langsung jalannya kekuasaan, ternyata para wakil rakyat malah menginginkan sebuah sistem yang dapat melepaskannya dari pertanggunjawaban langsung kepada rakyat. Ini menandakan bahwa para anggota DPR lebih mengutamakan kepentingannya sendiri daripada mengutamakan kepentingan rakyat yang memilihnya.

Kedua, presiden harus dipilih langsung oleh rakyat. Selama ini, dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, rakyat tidak pernah terlibat langsung dalam proses pemilihan presiden. Presiden Republik Indonesia selalu dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pemilihan oleh MPR ini menimbulkan kerawanan, yaitu maraknya praktek money politics. Selain itu, pemilihan presiden oleh MPR melahirkan “politik dagang sapi” antarpartai politik. Partai politik akan memilih presiden yang diajukan partai lain asalkan partai politik itu diberi jabatan yang sedang diincarnya. Sungguh merupakan proses pemilihan yang sarat dengan kepentingan. Rakyat benar-benar diabaikan dalam pemilihan seperti ini.

Karenanya, untuk mewujudkan kedaulatan rakyat secara murni, presiden harus dipilih langsung oleh rakyat. Harapan ini telah terwujud dengan disahkannya amandemen keempat UUD 1945 yang salah satu pasalnya menyatakan pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Dengan sistem seperti ini, rakyat dapat menentukan sendiri presiden yang diinginkannya. Tidak ada lagi “politik dagang sapi.” Namun, yang patut diwaspadai adalah manakala tidak terdapat pasangan presiden/wakil presiden yang meraih suara mayoritas pada putaran pertama, maka pemilihan putaran kedua dikembalikan kepada MPR. Bila hal ini terjadi, dikhawatirkan prakteknya akan sama dengan pemilihan presiden di masa sebelumnya, yaitu sarat dengan kepentingan, diwarnai “politik dagang sapi,” dan money politics. Untuk itu, apabila putaran pertama pemilihan presiden tidak menghasilkan suara mayoritas, maka putaran kedua harus tetap dikembalikan kepada rakyat.

Pertanyaannya, apakah pemilihan langsung hanya dilaksanakan pada kepemimpinan nasional? Jawabnya tentu saja tidak. Pemilihan langsung harus dilaksanakan mulai dari pusat sampai ke bawah. Artinya, gubernur dan bupati/walikota juga harus dipilih secara langsung. Jika semua daerah melaksanakan ini, maka kedaulatan rakyat benar-benar terwujud. Praktek money politics yang selama ini terjadi dalam pemilihan kepoala daerah akan dapat dikikis habis. Dan, rakyat pun dapat mengontrol serta mengawasi secara langsung jalannya pemerintahan.

Itulah format ideal demokrasi yang harus dilaksanakan di Indonesia. Sistem pemilu distrik dan pemilihan presdien secara langsung menempatkan rakyat pada posisi tertinggi. Kedua sistem ini juga akan dapat menghilangkan sikap mementingkan diri sendiri yang saat ini sedang menggejala di kalangan elit politik negeri ini. Memang, untuk membangunnya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, banyak rintangan yang menghadang. Rintangan itu terutama berasal dari diri rakyat Indonesia sendiri. Apabila rakyat tetap mengekspresikan kebebasannya di era reformasi ini dengan lebih mementingkan kelompoknya, maka format ideal demokrasi Indonesia akan jauh dari harapan. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari seluruh elemen bangsa untuk melihat suatu persoalan dalam perspektif kerakyatan dan kebangsaan, bukan dalam perspektif kelompok maupun golongan. Dengan sikap demikian, masa depan yang cerah bagi kehidupan demokratisasi di Indonesia akan dapat tercapai.
2. Untuk memahami keunggulan lokasi geostrategis wilayah Indonesia, amatilah peta posisi silang wilayah Indonesia pada Gambar berikut.

Keunggulan Lokasi Indonesia
Keunggulan Geostrategis Indonesia
Keunggulan letak geostrategis Indonesia berkaitan dengan letak Indonesia yang berada di antara dua benua yakni benua Benua Asia dan Benua Australia, Indonesia juga terletak di antara dua samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Mengapa letak tersebut dikatakan strategis? Lokasi Indonesia ibarat berada di persimpangan lalu lintas perjalanan internasional. Sebagai contoh perdagangan bangsa-bangsa Asia dan Australia, bahkan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia akan selalu melewati wilayah Indonesia. Perdagangan tersebut melewati wilayah darat, laut, dan udara.

Karena posisi silang Indonesia merupakan posisi negara Indonesia yang terletak di antara dua samudera dan dua benua, hal itu membawa keuntungan dan kerugian tertentu dalam aspek kehidupan, makadiperlukan Wawasan Nusantara pada pribadi setiap warga Indonesia. Wawasan Nusantara sendiri berarticara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan segala aspek kehidupan yang beragam.

3. sistem pemilihan umum yang digunakan harus menggunakan sistem distrik. Sistem distrik memungkinkan rakyat memilih langsung individu yang dipercayainya untuk menduduki kursi legislatif. Dalam sistem distrik rakyat memilih orang, bukan memilih partai. Rakyat dapat mengontrol langsung wakil yang mereka pilih. Akibatnya, wakil rakyat harus memberikan pertanggungjawaban secara langsung kepada rakyat, bukan kepada partai. Sehingga, wakil rakyat memiliki akuntabilitas politik yang tinggi.Dengan demikian, situasi yang mungkin timbul adalah anggota legislatif akan lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan partainya, sebab posisinya di parlemen akan sangat ditentukan oleh rakyat yang dia wakili, bukan oleh partai tempat dia bergabung.

Sayangnya, realitas politik yang saat ini terjadi di parlemen menunjukkan bahwa sistem ini tidak akan dipakai. Para anggota DPR yang membahas RUU Pemilu ternyata lebih memilih menggunakan sistem proporsional seperti yang digunakan di masa Orde Baru. Dengan sistem ini, berarti rakyat harus memilih partai, bukan memilih orang. Penentuan individu yang duduk dalam kursi legislatif ditentukan oleh partai. Jadi, pertanggungjawaban politik anggota legislatif nantinya kepada partai, bukan kepada rakyat. Sehingga, kemungkinan munculnya sikap mementingkan kelompok amat besar terjadi. Keputusan Pansus RUU Pemilu ini sebenarnya keputusan yang jauh mundur ke belakang. Di saat rakyat menginginkan sebuah sistem yang memungkinkan rakyat mengontrol langsung jalannya kekuasaan, ternyata para wakil rakyat malah menginginkan sebuah sistem yang dapat melepaskannya dari pertanggunjawaban langsung kepada rakyat. Ini menandakan bahwa para anggota DPR lebih mengutamakan kepentingannya sendiri daripada mengutamakan kepentingan rakyat yang memilihnya.

Kedua, presiden harus dipilih langsung oleh rakyat. Selama ini, dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, rakyat tidak pernah terlibat langsung dalam proses pemilihan presiden. Presiden Republik Indonesia selalu dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pemilihan oleh MPR ini menimbulkan kerawanan, yaitu maraknya praktek money politics. Selain itu, pemilihan presiden oleh MPR melahirkan “politik dagang sapi” antarpartai politik. Partai politik akan memilih presiden yang diajukan partai lain asalkan partai politik itu diberi jabatan yang sedang diincarnya. Sungguh merupakan proses pemilihan yang sarat dengan kepentingan. Rakyat benar-benar diabaikan dalam pemilihan seperti ini.

Karenanya, untuk mewujudkan kedaulatan rakyat secara murni, presiden harus dipilih langsung oleh rakyat. Harapan ini telah terwujud dengan disahkannya amandemen keempat UUD 1945 yang salah satu pasalnya menyatakan pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Dengan sistem seperti ini, rakyat dapat menentukan sendiri presiden yang diinginkannya. Tidak ada lagi “politik dagang sapi.” Namun, yang patut diwaspadai adalah manakala tidak terdapat pasangan presiden/wakil presiden yang meraih suara mayoritas pada putaran pertama, maka pemilihan putaran kedua dikembalikan kepada MPR. Bila hal ini terjadi, dikhawatirkan prakteknya akan sama dengan pemilihan presiden di masa sebelumnya, yaitu sarat dengan kepentingan, diwarnai “politik dagang sapi,” dan money politics. Untuk itu, apabila putaran pertama pemilihan presiden tidak menghasilkan suara mayoritas, maka putaran kedua harus tetap dikembalikan kepada rakyat.
4. sby
Sistem pemerintahan Indonesia  periode 2004-2014  yang diampu oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih menganut sistem presidensial. Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono periode pertama dengan wakil presiden Jusuf Kalla dan periode kedua dengan wakil presiden Boediono merupakan hasil pemilihan secara langsung oleh rakyat. Pemerintahan tersebut merupakan pemerintahan pertama di Indonesia hasil dari pemilihan langsung oleh rakyat. Sebagai bukti bahwa karakteristik presidensialisme pada pemerintahan SBY-JK telah terpenuhi dalam pemilihan langsung oleh rakyat. Pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 6A .

Model pemilihan presiden secara langsung ini merupakan hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bentuk penyempurnaan sistem pemerintahanpresidensial. Implikasi dari pemilihan presiden secara langsung adalah hubungan presiden dan parlemen hanya sebatas pengawasan dan keseimbangan. Presiden dan parlemen sebagai lembaga mandiri menjalankan kekuasaan masing-masing. Antara kedua lembaga tersebut tidak dapat saling membubarkan. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 7C menyebutkan presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
SBY Budiono Sistem Pemerintahan Indonesia 2004 hingga Saat Ini


Pelaksaan sistem presidensial di Indonesia saat ini tergolong belum efektif. Beberapa diantaranya: parlemen memiliki sejumlah kekuasaan yang sebenarnya domain dari presiden, parlemen memiliki hak veto sedangkan lembaga eksekutif tidak, UU terkait politik tidak koheren dengan sistem presidensial.
Ciri - Ciri Sistem Pemerintahan 

Sistem pemerintahan Indonesia saat ini, yaitu periode 2004-2014 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem Pemerintahan Presidensial adalah sistem pemerintahan dimana eksekutif berada di luar pengawasan langsung legislatif. Sistem pemerintahan presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power)  ke 3 cabang yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.
5.
Berikut beberapa sikap dan perilaku mempertahankan NKRI :
·         Menjaga wilayah dan kekayaan tanah air Indonesia, artinya menjaga seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
·         Menciptakan ketahanan nasional, artinya setiap warga negara menjaga keutuhan, kedaulatan Negara dan mempererat persatuan bangsa.
·         Menghormati perbedaan suku, budaya, agama dan warna kulit. Perbedaan yang ada akan menjadi indah jika terjadi kerukunan, bahkan menjadi sebuah kebanggaan karena merupakan salah satu kekayaan bangsa.
·         Mempertahankan kesamaan dan kebersamaan, yaitu kesamaan memiliki bangsa, bahasa persatuan, dan tanah air Indonesia, serta memiliki pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Sang saka merah putih. Kebersamaan dapat diwujudkan dalam bentuk mengamalkan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.
·         Memiliki semangat persatuan yang berwawasan nusantara, yaitu semangat mewujudkan persatuan dan kesatuan di segenap aspek kehidupan sosial, baik alamiah maupun aspek sosial yang menyangkut kehidupan bermasyarakat. Wawasan nusantara meliputi kepentingan yang sama, tujuan yang sama, keadilan, solidaritas, kerja sama, kesetiakawanan terhadap ikrar bersama. Memiliki wawasan nusantara berarti memiliki ketentuan-ketentuan dasar yang harus dipatuhi, ditaati dan dipelihara oleh semua komponen masyarakat. Ketentuan-ketentuan itu antara lain pancasila sebagai landasan idiil, dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Ketentuan lainnya dapat berupa peraturan-peraturan yang berlaku di daerah yang mengatur kehidupan bermasyarakat.
·         Mentaati peraturan agar kehidupan berbangsa dang bernegara berjalan dengan tertib dan aman. Jika peraturan saling dilanggar, akan terjadi kekacauan yang dapat menimbulkan perpecahan.

Selasa, 21 April 2015

HAM

ANALISIS IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA

IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik
Pada saat ini HAM telah menjadi issue global, yang tidak mungkin diabaikan dengan dalih apapun termasuk di Indonesia. Konsep dan implementasi HAM di setiap negara tidak mungkin sama, meskipun demikian sesungguhnya sifat dan hakikat HAM itu sama. Dalam hal ini, ada tiga konsep dan model pelaksanaan HAM di dunia yang dianggap mewakili, masing-masing di negara-negara Barat, Komunis-Sosialis dan ajaran Islam. Adanya HAM menimbulkan konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan pelanggaran HAM itu sendiri. Khusus tentang implementasi HAM di Indonesia, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dan belum kondusifnya mekanisme penyelesaiannya,, tetapi secara umum baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan serta dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi. Di indonesia sendiri, Ada beberapa hal yang di anggap sering menyimpang dalam pengimplementasian HAM yaitu hak untuk beragama, hak untuk berpendapat dan hak dalam bidang pendidikan.



1.      Pelaksanaan HAM
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang di bawa manusia sejak ia hidup yang melekat pada esensinya sebagai anugrah Tuhan yang maha kuasa. Bila hak asasi manusia belum dapat di tegak kan maka akan terus terjadi pelanggaran dan penindasan atas Ham baik oleh masyarakat, bangsa, atau pemerintah. Tak bisa di pungkiri bumi sebagai tempat hunian manusia adalah satu. Namun para penghuninya terdiri dari berbagai suku , ras, bahasa, profesi , kultur dan agama. Dengan demikian fenomena kemajemukan tak bisa dihindari.
Hak asasi artinya hak-hak yang didapatkan setiap individu sejak lahir. Di dalam hak asasi itu, sesuai pernyataan umum PBB, agama termasuk salah satunya. Dalam “Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, diterjemahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa” pasal 18 menyatakan :
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Dengan demikian, memilih agama, termasuk tidak beragamaadalah hak sepenuhnya bagi setiap individu tanpa intervensi dari individu yang lain. Melaksanakan ibadah dan mempraktekkannya juga adalah hak asasi, namun ingat, orang lain juga punya hak asasi yang sama yang tidak boleh diganggu dengan pelaksanaan ibadah dan praktek dari agama kita.
Di Indonesia dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”,Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945 ,28I ayat (1) UUD 1945 , Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 .Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 , Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.
Pasal-pasal di atas menunjukkan bahwa di Indonesia mengakui kemajemukan dalam beragama. Jika ditafsirkan secara bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk mengekspresikan fikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.
HAM dalam beragama di Indonesia benar-benar sudah diatur dalam konstitusi negara kita. Namun, masalah implementesinya masih jauh dari harapan kita. Di Indonesia banyak terjadi konflik-konflik yang pemicu utamanya adalah masalah kebebasan dalam beragama. Contoh yang paling nyata yang kemunculannya membuat pihak-pihak tertentu meradang dan menjadikan konflik berkepanjangan adalah kemunculan aliran-aliran sesat di Indonesia. Jika kita membicarakan aliran-aliran sesat di Indonesia pasti akan bermuara pada satu agama yaitu Islam. Banyak sekali aliran-aliran yang bernuansa Islam namun ajarannya tidak sesuai dengan ajaran Islam.

            Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa aliran tersebut sesat. Pimpinan Komunitas Eden (Lia) dan Al-Qiyadah (Ahmad Mushadeeq) akhirnya dipenjara. Kasus Alquran Suci tidak begitu jelas penyelesaiannya karena gerakannya yang terkesan sembunyi-sembunyi.Yang masih menyisakan konflik horizontal berkepanjangan adalah Ahmadiyah. Masih segar dalam ingatan kita bentrok antara Front Pembela Islam (FPI) dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni lalu. FPI menduga AKKBB telah mendukung adanya keberadaan Ahmadiyah yang menimbulkan kemarahan umat Islam. Aliran Ahmadiyah menimbulkan gejolak terbesar. Pendukung Ahmadiyah tidak kalah kuatnya dengan penentangnya, dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid hingga para pegiat hak asasi manusia (HAM).
Konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mengandung konotasi positif. Artinya, tidak ada tempat bagi ateisme atau propaganda antiagama di Indonesia. Ini sangat berbeda dengan konsep di AS yang memahami freedom of religion, baik dalam arti positif maupun negatif seperti diungkapkan Sir Alfred Denning bahwa kebebasan beragama berarti bebas untuk beribadah atau tidak beribadah, meyakini adanya Tuhan atau mengabaikannya, beragama Kristen atau agama lain atau bahkan tidak beragama (Azhary, 2004).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan agama (Pasal 18). Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM.
Negara berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal usulnya. Dalam konsep HAM, hak kebebasan beragama masuk ke ranah hak sipil dan hak politik
Hak ini termasuk ke dalam dimensi non-derogable, artinya tidak bisa ditawar atau dikurangi dalam keadaan apa pun sehingga negara harus memenuhinya.Pihak-pihak pro-Ahmadiyah menggunakan pasal-pasal di atas untuk membenarkan dan membela kelompok Ahmadiyah. Mereka menerjemahkan HAM sebagai hak yang sebebas-bebasnya termasuk dalam beragama dan berkeyakinan. Dalam pemahaman secara sempit pendapat ini dapat dibenarkan.Namun, jangan lupa bahwa dalam HAM juga dikenal adanya kewajiban asasi manusia dan pembatasan terhadap HAM itu sendiri. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa: (1) Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 73 UU No.39/1999 tentang HAMKebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang dapat dibatasi demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.
Meski demikian, satu-satunya pihak yang mempunyai otoritas pembatasan HAM adalah negara. Segala bentuk kekerasan dalam mengatasi persoalan agama justru akan kontraproduktif dengan upaya penegakan HAM. Pemerintah harus segera mengambil tindakan pencegahan agar konflik horizontal tidak membesar.Pembubaran atau pelarangan Ahmadiyah bukan satu-satunnya jalan penyelesaian. Usulan dari mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Izha Mahendra agar Ahmadiyah dinyatakan pemerintah sebagai kelompok minoritas non-Islam juga dapat menjadi jalan tengah penyelesaian konflik. Namun, usulan Yusril juga harus diikuti larangan bagi Ahmadiyah untuk menggunakan atribut dan ritual Islam. Karena meskipun dinyatakan sebagai non-Islam apabila ritualnya ada kemiripan maka tetap akan ada konflik.
Peristiwa Monas merupakan hal yang patut disesalkan. Segala bentuk kekerasan dengan alasan apa pun tetap tidak dapat dibenarkan. Semoga ke depan pemerintah tidak akan ragu-ragu dan lambat dalam memutuskan suatu hal yang rentan konflik karena akan dibayar mahal dengan biaya sosial yang tinggi.
Contoh di atas hanya sekelumit persoalan pluralisme dalam beragama di Indonesia. Memang harus diakui kebanyakan permasalahan HAM dalam beragama muncul dari adanya kemunculan aliran-aliran yang bernuansa Islam. Pelaksanaan HAM dalam beragama di Indonesia sendiri masih banyak menyimpang dari Konstitusi negara Indonesia. Hal ini merupakan PR bagi pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat, Lembaga-lembaga pemerintah sebagai wakil rakyat, dan kita sebagai masyarakat yang menginginkan kedamaian. Jika ketiga elemen tersebut mampu bersinergi dan bahu membahu dalam mewujudkan kebebasan beragama maka tidak akan ada lagi konflik agama di dalam negara kesatuan Republik Indonesia ini.

2.      Pelaksanaan HAM dalam Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat
Pendapat secara umum diartikan sebagai buah gagasan atau buah pikiran. Mengemukakan pendapat berarti mengemukakan gagasan atau mengeluarkan pikiran. Dalam kehidupan negara Indonesia, seseorang yang mengemukakan pendapatnya atau pikirannya dijamin secara konstitusional. Hal itu dinyatakan dalam UUD 1945, Pasal 28, bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.Lebih lanjut pengertian kemerdekaan mengemukakan pendapat dinyatakan dalam pasal 1 (1) UU No.9 Tahun 1998, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang yang mengatur kemerdekaan mengemukakan pendapat antara lain diatur dengan Undang-undang No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di Muka Umum. Pengertian di muka umum adalah di hadapan orang banyak atau oarang lain, termasuk tempat yang dapat didatangi dan/ atau dilihat setiap orang.
Adapun cara-cara mengemukakan pendapat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Lisan, contohnya pidato, ceramah, berdialog, berdiskusi, rapat umum.
2. Tulisan, contohnya poster, spanduk, artikel, surat.
3. Cara lain, contohnya foto, film, demonstrasi(unjuk rasa), mogok makan
Mengeluarkan pikiran secara bebas adalah mengeluarkan pendapat, pandangan, kehendak, atau perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis, atau pembatasan yang bertentangab dengan tujuan pengaturan tentan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum (Penjelasan Pasal 5 UU No. 9 Tahun 1998). Warga negara yang menyampaikan pendapatnya di muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secar bebas dan memperoleh perlundungan hukum (Pasal 5 UU No. 9 Tahun 1998). Dengan demikian, orang bebas mengeluarkan pendapat tetapi juga perlu pengaturan dalam mengeluarkan pendapat tersebut agar tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan antar-anggota masyarakat. Pentingnya kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dapat dilihat dalam tujuan pengaturan tentang kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum sebagai berikut (Pasal 4 UU No.9 Tahun 1998):
1. Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;
2. Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
3. Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.
4. kemerdekaan mengemukakan pendapat secarabebasa dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk mendapatkan tanggung jawab sosial kehidupan bermasyarakar, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.

Oleh karena itu, ada beberapa asas yang harus di taati dalam kemerdekaan mengemukakan pendapatdi muka umum (Pasal 3 UU No.9 Tahun 1998), yaitu:
1. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban,
2. Asas musyawarah dan mufakat,
3. Asas kepastian hukum dan keadilan,
4. Asas proporsionalitas, dan
5. Asas manfaat.

Kewajiban dan tanggung jawab warga negara dalam melaksanakan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dn bertanggung jawab di muka umum (Pasal 6 UU No.9 Tahun 1998) terdiri atas:

1. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain,
2. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum,
3. Mentaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
4. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, dan
5. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Pada sisi lain aparatur pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam melaksanakan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab di muka umum (Pasal 7 UU No.9 Tahun 1998), yaitu:

1. Melindungi hak asasi manusia,
2. Menghargai asas legalitas,
3. Menghargai prinsip praduga tidak bersalah, dan
4. Menyelenggarakan pengamanan.

Sedang masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab agar penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai (Pasal 8 UU No.9 Tahun 1998).Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, atau mimbar bebas. Unjuk rasa atau demonstrasi sebagai salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Rapat umum adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum yang dihadiri oleh orang banyak dengan tema tertentu. Adapun pengertian pawai adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan oleh orang banyak dengan cara melakukan perarakan. Sedangkan mimbar bebas adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum yang dihadiri oleh orang banyak dengan bebas, tema dan pembicaraan di lakukan secara bersifat spontan.

Mengemukakan pendapat bagi setiap warga negara dapat dilakuka melalui berbagai saluran. Pada prinsipnya saluran itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu saluran tradisional dan saluran moderen. Saluran tradisional adalah saluran yang sejak dahulu kala sudah merupakan sarana komunikasi antar-manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Saluran-saluran komunikasi tradisional antara lain sebagai berikut:

1. Pertemuan antar-pribadi, misalnya ketika seseorang berkunjung kerumah tetangganya, ketika seseorang bertemu dengan teman atau sahabatnya disuatu tempat, atau ketika seseorang mengirim surat kepada temannya yang jauh.
2. pertemuan atau forum umum yang dihadiri oleh orang cukup banyak, seperti rapat musyawarah yang di lakukan di sekolah, di kantor, di kampung dan sebagainya. Forum ini dapat juga berbentuk pawai, unjuk rasa dan rapat umum di lapangan terbuka.

Adapun saluran atau sarana komunikasi moderen adalah saluran komunikasi yang menggunakan media dengan peralatan atau teknologi moderen. Saluran komunikasi moderen ini dapat dilakukan antar pribadi, tetapi dapat juga dilakukan secara bersama (menjangkau banyak orang). Bentuk-bentuk saluran komunikasi moderen itu antara lain:
1. Saluran komunikasi antar pribadi, seperti telepon (baik melalui kabel maupun non-kabel, seperti handphone), faksimile, dan surat elektronik (e-mail) melalui internet.
2. Saluran komunikasi massa, meliputi dua macam, yaitu media massa cetak dan media massa elektronik. Media massa cetak meliputi: koran, majalah, jurnal, buku, dan terbitan berkala lainnya, seperti liflet, selebaran, dan buletin. Adapun media massa elektronik, mencakup radio, televisi, dan internet.
Penggunaan saluran komunikasi merupakan salah satu perwujudan pelaksanaan hak asasi manusia. Hal itu sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal 28E (3) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dalam ketentuan tersebut berarti setiap orang memiliki hak kebebasan mengeluarkan pendapat. Setiap orang dapat menggunakan berbagai cara, berbagai bentuk, dan berbagai saluran dalam menerapkan kemerdekaan mengemukakan pendapatnya. Hal tersebut sejalan dengan jaminan setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (Pasal 28F UUD 1945). Hak-hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, berupa:
1.      hak untuk berkomunikasi
2.      hak untuk memperoleh informasi
3.      hak untuk memiliki informasi
4.      hak untuk mencari informasi
5.      hak untuk menyimpan informasi
6.      hak untuk mengolah informasi
7.      hak untuk menyampaikan informasi
8.      hak untuk menggunakan segala jenis saluran informasi
Apabila kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas tanpa pertanggung jawaban, maka akan menimbulkan hal-hal ynag bersifat negatif dalam masyarakat. Demonstrasi, pawai, rapat umum, atau mimbar bebas ynag tidak terkendali dapat mengarah pada tindakan pengrusakan, penjarahan, pembakaran, bentrok massal, korban luka, bahkan ada korban meninggal dunia. Oleh karena itu, kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab merupakan hak dan sekaligus juga kewajiaban stiap warga negara di Indonesia. Pembatasan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab tertulis dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 UU No.9 Tahun 1998 seperti telah dijelaskan diatas. Perangkat perundang-undangan dalam mengatur kemerdekaan mengemukakan pendapat pada dasarnya dimaksudkan agar setiap orang dalam mengemukakan pendapatnya dilakukan secara bebas dan bertanggung jawab. Dengan demikian norma-norma masyarakat tetap dijunjung tinggi dalam rangka menghormati hak orang lain. Oleh karena itu, kita hendaknya dapat menghargai kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab.
3.      Pelaksanaan HAM dalam Bidang Pendidikan di Indonesia
 Hak atas pendidikan sebagai bagian dari hak asasi manusia di Indonesia tidak sekadar hak moral melainkan juga hak konstitusional. Ini sesuai dengan ketentuan UUD 1945 (pascaperubahan), khususnya Pasal 28 C Ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Selain ketentuan di atas, Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 (pasca perubahan) juga merumuskan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar, sedangkan pemerintah wajib membiayainya. Pasal 31 ayat (3) dan (4) menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk mengusahakan penyelenggaraan pengajaran nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memprioritaskan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Demikian pula ketentuan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan jaminan hak atas pendidikan. Pasal 60 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memperkuat dan memberikan perhatian khusus pada hak anak untuk memperoleh pendidikan sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya. Penegasan serupa tentang hak warga negara atas pendidikan juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan, negara menjadi pihak utama yang bertanggung jawab untuk menjaminnya. Pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat penegasan bahwa negara — dalam hal ini pemerintah — memiliki tanggung jawab memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
Saat ini secara makro, pendidikan kita memang berhasil mencatat angka-angka signifikan tentang infrastruktur pendidikan yang telah dibangun. Jika dibanding beberapa negara tetangga, peserta didik yang berhasil kita tamatkan dari semua jenjang pendidikan, ditambah dengan pengangkatan tenaga pendidik, kita pun berada di level terdepan. Namun fenomena paradoksal terlihat pada keluaran pendidikan kita, ketika Human Development Index peserta didik kita dibanding negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, sangat tertinggal jauh.
Hal tersebut dipicu oleh cara pandang pendidikan kita yang masih sarat akan pragmatisme dan diskriminasi. Kedua hal tersebut sudah lama menjadi penyakit kronis yang terus menggerogoti sistem pendidikan nasional kita dari waktu ke waktu. Mulai kultur pergantian pejabat tinggi pendidikan yang berimbas pada pergantian sistem dan mekanisme pendidikan sampai pola rekrutmen, promosi, dan pemberian reward and punishment tenaga/pejabat pendidikan, semuanya dilakukan masih dalam konteks pendekatan pragmatis, diskriminatif, dan berbau korupsi.
Paradigma penataan pendidikan seperti itu tak pelak lagi menyulut terjadinya bias efek di hampir semua lini. Sampai sekarang, ada sekitar 20 juta anak usia 7-15 tahun yang belum/tidak tersentuh layanan pendidikan dasar, termasuk mereka yang gagal dari sekolah. Lalu ada 8 juta lebih anak usia 16-20 tahun yang tidak dapat mengecap pendidikan tingkat menengah dan lebih dari 2 juta alumni sekolah menengah umum yang tidak mampu menginjakkan kaki di perguruan tinggi akibat biaya pendidikan yang dari waktu ke waktu terus menggila. Jangankan perguruan tinggi atau SMU, anak-anak usia dini yang didaftar untuk memperoleh pendidikan jenis TK saja pada umumnya sudah mengenakan tarif sampai jutaan rupiah, apalagi jika lembaga tersebut dalam bentuk playgroup, biayanya tentu semakin memperlebar jurang diskriminasi. Tak ayal lagi kebanyakan orang tua dengan penghasilan hanya cukup untuk sekadar mengepulkan asap dapur lebih memilih menelantarkan anak mereka di emper-emper jalan, kerja serabutan, dan berbagai pekerjaan kasar lainnya daripada memasukkannya ke taman-taman pendidikan.
Perilaku destruktif lain di dunia pendidikan mencakup praktek jual-beli nilai dan sogok-menyogok untuk masuk dan tamat dari dunia pendidikan. Banyak guru yang lebih mendahulukan pekerjaan sambilan daripada tugas reguler/pokok, dan memiliki perilaku hobi menerima upeti dari orang tua siswa daripada mendidik siswa dengan sepenuh hati. 
Di zaman kini sudah sulit kita jumpai seorang guru/dosen mengajar dengan persiapan penuh, misalnya dalam hal penguasaan/pembacaan literatur dua-tiga hari sebelumnya disertai alat peraga atau media pembelajaran berbasis teknologi. Umumnya tiba masa tiba akal, datang terlambat, cepat pulang. Dekadensi moral dalam dunia pendidikan sudah bukan cerita baru. Sejumlah oknum guru/dosen terlibat kekerasan hingga pelecehan seksual terhadap peserta didik.
Fenomena buruk seperti ini semakin menambah panjang daftar problematik yang melilit dunia pendidikan kita dewasa ini. Padahal dalam program pembangunan nasional dicanangkan bahwa bangsa kita pada 2015, konon, akan memasuki era kemakmuran ekonomi, sosial, budaya, dan politik, yang ditopang oleh pendidikan yang murah, aksesibel, serta bermutu. Itulah sebabnya, penataan pendidikan nasional kita berbasis kompetensi dengan maksud agar penyelenggara dan peserta didik proaktif mengaktualisasi diri terhadap materi pembelajaran secara simultan.
Sungguh amat disesalkan karena sudah lebih dari dua dasawarsa program tersebut dicanangkan, hingga saat ini tanda-tanda untuk mencapai titik kulminasi justru semakin kabur, suram, dan gelap. Sistem dan mekanisme pengelolaan pendidikan yang selama ini cenderung dirasakan diskriminatif dan pragmatis bukan hanya tidak dapat direduksi, apalagi dihilangkan, malah tampak semakin digalakkan dan tumbuh subur dalam berbagai elemen penyelenggaraan pendidikan.
Salah satu paradigma kebijakan pendidikan kita yang mempertontonkan praktek diskriminasi adalah sekolah bertaraf internasional (SBI) ataupun rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Betapa tidak, karena SBI dan RSBI hanya mengukur prestasi peserta didik semata-mata dari kemampuan akademis. Padahal konsep prestasi kecerdasan bukan hanya prestasi intelektual (IQ), tapi juga kecerdasan emosional (EQ) ataupun kecerdasan spiritual (SQ). Begitu eksklusifnya SBI ini, maka biaya pengadaan fasilitas dan operasional dalam mencapai target kualifikasi SBI tidak disangsikan lagi tentu jauh lebih besar daripada sekolah biasa. Tingkat perhatian otoritas pendidikan dalam bentuk kunjungan kerja hingga kemudahan akses beasiswa dan promosi bagi peserta didik ataupun tenaga pendidiknya pasti lebih intensif daripada sekolah biasa.
Kita memang tidak dapat memungkiri bahwa peradaban modern sebagaimana dicapai dunia Barat karena faktor pembangunan sumber daya manusia. Tapi pembinaan intelektualitas dengan cara pragmatis, linear, dan diskriminatif sebagaimana dikemukakan di atas hanya akan melahirkan jargon intelektualitas unggul dalam ranah ekshibisi dan kontes semata. Penulis berkeyakinan, sebuah peradaban yang bagaimanapun mapannya bukanlah prakarsa orang per orang dari kalangan elite ataupun intelektual tertentu, melainkan hasil kontribusi secara kumulatif seluruh anak negeri tanpa kecuali.