Minggu, 15 November 2015

Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku Remaja.

media sosial dan remaja
media sosial dan remaja
saat ini teknologi semakin maju, hadirnya internet adalah suatu anugrah yang semakin dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kegiatan sosialisasi, bisnis, dsb. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh vendor smartphone yang berkembang pesat pengunaannya dan menjadi trend . Hampir semua orang memiliki smartphone , dengan semakin majunya internet dan hadirnya smartphone maka media sosial pun ikut berkembang pesat.
Media sosial merupakan situs dimana seseorang dapat membuat web page pribadi dan terhubung dengan setiap orang yang tergabung dalam media sosial yang sama untuk berbagi informasi serta berkomunikasi. Media sosial mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan memberi feedback secara terbuka, serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. Kalangan remaja yang mempunyai media sosial biasa nya memposting tentang kegiatannya, serta foto-foto. Semakin aktif seorang remaja di media sosial maka mereka semakin dianggap keren dan gaul dan sebaliknya remaja yang tidak mempunyai media sosial biasanya dianggap ketinggalan jaman, dan kurang bergaul.
Media sosial menghapus batasan-batasan dalam bersosialisasi. Dalam media sosial tidak ada batasan ruang dan waktu, mereka dapat berkomunikasi kapanpun dan dimanapun mereka berada. Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang. Bagi kalangan remaja, media sosial seakan sudah menjadi candu, tiada hari tanpa membuka media sosial, bahkan hampir 24 jam mereka tidak lepas dari smartphone. Masing-masing media sosial mempunyai keunggulan khusus dalam menarik banyak pengguna media sosial yang mereka miliki.Para pengguna media sosial pun dapat dengan bebas berkomentar serta menyalurkan pendapatnya tanpa rasa khawatir. Hal ini dikarenakan dalam internet khususnya media sosial sangat mudah memalsukan jati diri atau melakukan kejahatan.
Dalam kajian sosiologi, maraknya media sosial erat hubungannya dengan bagaimana kita bersosialisasi, berteman, berinteraksi. Dengan munculnya media sosial tersebut kita mampu berkomunikasi satu sama lain, dalam ilmu sosiologi hal tersebut dinamakan bentuk komunikasi langsung. Komunikasi langsung dapat diartikan sebagai salah satu cara berinteraksi antara seseorang dengan orang lain secara langsung, baik melalui chat maupun melalui pesan.Jadi hubungan media sosial dengan ilmu sosiologi sangat erat. Dengan media sosial kita mampu berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lain, bukan hanya itu kita juga bisa mendapatkan teman baru dan kita juga bisa saling sharing atau berbagi ilmu dan juga bisa memecahkan masalah yang sedang dihadapi di masyarakat. Apabila kita menyalahgunakan media sosial tersebut, kita akan membuat masalah bukan menyelesaikan masalah.
Media Sosial di Kalangan Remaja
Remaja adalah manusia yang tumbuh menjadi dewasa. Remaja mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja menunjukan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Masa remaja merupakan masa transisi sebab pada saat itu, seseorang telah meninggalkan masa kanak-kanak namun ia juga belum memasuki masa dewasa. Remaja saat ini sangat ketergantungan terhadap media sosial. Mereka begitu identik dengan smartphone yang hampir 24 jam berada di tangan dan sangat sibuk berselancar di dunia online yang seakan tidak pernah berhenti. Melihat hal ini, Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN) bersama Yahoo! melakukan riset mengenai penggunaan internet di kalangan remaja. Hasilnya menunjukkan, kalangan remaja usia 15-19 tahun mendominasi pengguna internet di Indonesia sebanyak 64%.
Penggunaan media sosial di kalangan remaja ini juga menimbulkan pro dan kontra. Penggunaan media sosial seringkali mengganggu proses belajar remaja, sebagai contoh ketika sedang belajar lalu ada notification chatting dari teman yang akhirnya dapat mengganggu proses belajar, dan kebiasaan seorang remaja yang berkicau berkali-kali di Twitter yang terkadang hanya untuk mengeluhkan betapa sulit pelajaran yang sedang dia kerjakan.
Tidak berhenti sampai di situ saja. Yang lebih parah ada beberapa kasus seorang remaja yang dilaporkan hilang oleh orangtuanya yang ternyata kabur dengan teman yang baru dikenalnya di Facebook. Lalu apa yang menyebabkan seorang remaja begitu aktif di jejaring sosial? Dalam sebuah penelitian dinyatakan, media sosial berhubungan dengan kepribadian introvert. Semakin introvert seseorang maka dia akan semakin aktif di media sosial sebagai pelampiasan. Peran orangtua sangat dibutuhkan sebagai pengawas dan juga sosok yang memahami anak. Keluarga harus dapat memberikan fungsi afektif agar seorang anak mendapatkan perhatian yang cukup.
Di kota besar seperti Jakarta, seringkali para remaja mengalami kekosongan karena kebutuhan akan bimbingan orangtua tidak ada atau kurang. Hal ini disebabkan karena keluarga mengalami disorganisasi. Pada keluarga yang secara ekonomis kurang mampu, hal tersebut disebabkan karena orang tua harus mencari nafkah, sehingga tidak ada waktu sama sekali untuk memperhatikan dan mengasuh anak-anaknya. Sedangkan pada keluarga yang mampu, persoalannya adalah karena orang tua terlalu sibuk dengan urusan-urusan di luar rumah dalam rangka mengembangkan prestise.
Kalangan remaja yang menjadi hiperaktif di media sosial ini juga sering memposting kegiatan sehari-hari mereka yang seakan menggambarkan gaya hidup mereka yang mencoba mengikuti perkembangan jaman, sehingga mereka dianggap lebih populer di lingkungannya.
Namun apa yang mereka posting di media sosial tidak selalu menggambarkan keadaan social life mereka yang sebenarnya. Ketika para remaja tersebut memposting sisi hidup nya yang penuh kesenangan, tidak jarang kenyataannya dalam hidupnya mereka merasa kesepian. Manusia sebagai aktor yang kreatif mampu menciptakan berbagai hal, salah satunya adalah ruang interaksi dunia maya. Setiap individu mampu menampilkan karakter diri yang berbeda ketika berada di dunia maya dengan dunia nyata. Hal ini dalam sosiologi disebut dengan istilah dramaturgi atau presentasi diri untuk menjelaskan bagaimana seseorang menampilkan diri pada lingkungan atau panggung tertentu.
Teori dramaturgi dipopulerkan oleh Erving Goffman yang pada intinya untuk memahami perilaku manusia dalam kehidupan sosial seperti sebuah pertunjukan drama. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain.
Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Setiap individu adalah aktor yang berusaha membuat pertunjukan dramanya sendiri. Dalam mencapai tujuannya, para remaja berusaha mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Aktor juga harus memperhitungkan setting, kostum, penggunaan kata dan lainnya untuk meninggalkan kesan baik pada lawan interaksi dan memudahkan jalan untuk mencapai tujuan yang oleh Goffman disebut manajemen daya tarik.
Goffman juga melihat perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage ) dan di belakang panggung (back stage). Front stage adalah ketika adanya penonton yang melihat kita dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton simpatik. Sedangkan back stage adalah keadaan di mana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi tidak ada penonton, sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa memperdulikan peran yang harus kita bawakan. Apabila bisa dilakukan dengan baik, penonton akan termanipulasi dan melihat aktor sesuai sudut yang ingin ditampilkan oleh aktor tersebut.
Namun segalanya berubah ketika kita melihat para remaja tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Panggung tempat mereka bermain adalah panggung back stage, tidak ada penonton dari teman-teman nya di media sosial, mereka menampilkan peran yang berbeda dengan apa yang mereka bangun di panggung front stage .
Sehingga tidak mengherankan jika suatu saat kita bertemu dengan seseorang yang berbeda jauh ketika berada di Twitter dengan ketika berada di realitas nyata. Contohnya, seseorang yang kita lihat sangat humoris dan banyak berbicara di dunia maya, tetapi ketika berinteraksi dalam kehidupan nyata ternyata ia adalah sosok yang pemalu dan pendiam. Namun biasanya yang dapat melihat peran back stage seseorang adalah keluarganya, karena keluarga tentu sudah tahu sifat asli dari remaja tersebut. Mereka tidak perlu membangun suatu panggung ketika berinteraksi dengan keluarga nya sendiri.
Para penonton remaja yang sedang berakting di front stage seringkali tertipu dan tidak dapat lagi membedakan apakah kehidupan serta image seorang remaja yang mereka lihat di sebuah media sosial adalah diri mereka yang sebenarnya atau yang palsu. Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, realitas telah hilang dan menguap. Kini kita hidup di zaman simulasi, di mana realitas tidak hanya diceritakan, dipresentasikan, dan disebarluaskan namun juga dapat direkayasa, dibuat dan disimulasi. Baudrillard memandang era simulasi dan hiper-realitas sebagai bagian dari rangkaian fase citraan yang berturut-turut.
Baudrillard menyatakan bahwa kita terbiasa hidup dalam cermin fantasi, dalam diri yang terbagi dan dalam alienasi. Saat ini kita hidup dalam fantasi sebuah layar, dan jaringan. Seluruh mesin kita adalah layar-layar. Kita pun akan menjadi layar dan interaksi manusia akan berubah menjadi interaksi pada layar. Kita dalah citra bagi satu sama lain, dimana satu-satunya takdir bagi sebuah mahluk citra adalah menjadi pengikut citra dalam layar.
Pernyataan Baudrillard bahwa “saat ini kita hidup dalam fantasi sebuah layar, dari sebuah antarmuka, dalam persentuhan dan jaringan,” sesuai dengan kenyataan bahwa manusia di masa kini yang terkoneksi antara satu dengan yang lain melalui penggunaak smartphone maupun tablet meningkatkan kemudahan manusia untuk terhubung pada manusia lain melalui jaringan internet dan tentunya layar.
Manusia akhirnya menjadi teralienasi dengan lingkungan sosial dengan lingkungan sekitar mereka, karena mereka sibuk dengan gadget masing-masing. Mereka terjebak dalam pencitraan di dunia virtual, baik dalam menciptakan citranya sendiri maupun dalam memandang manusia lain. Ini pun sesuai dengan pernyataan Baudrillard, “kita terbiasa hidup dalam cermin fantasi, dalam diri yang terbagi dan dalam alienasi.”

Manusia saat ini terhubung dengan berbagai aplikasi media sosial yang membantu mereka untuk terhubung dengan manusia lain yang bisa berjarak ribuan mil melalui layar dan jaringan. Namun pada saat yang sama membuat jarak dengan mereka yang dekat dan mengalienasi mereka dengan lingkungan sosialnya. Manusia pun terjebak menjadi mahluk citra, baik dalam artian secara harfiah maupun secara kiasan.
sumber http://mudazine.com/