Senin, 29 Januari 2018

INSINYUR


Pendidikan Menjadi Insinyur
Ir. Rudianto Handojo, IPM
Direktur Eksekutif PII
Lebih dari 60 tahun yang lalu pencantuman gelar Ir., Dr., Mr., Drs., biasa dilakukan di depan nama oleh mereka yang telah menyelesaikan pendidikan ilmu teknik, ilmu kedokteran, ilmu hukum dan ilmu sains serta non eksakta. PII didirikan pada era ahli teknik adalah Insinyur, dan anggota PII adalah para insinyur. Kemudian jaman berubah. Mungkin dengan semangat mengindonesiakan semua yang berbau Belanda, kemudian dalam ijazah, muncul lah gelar sarjana teknik (ST), sarjana kedokteran (S.Ked), sarjana hukum (SH), juga S.Sos., SE., dan lainnya, sebagai gelar yang diperoleh setelah mahasiswa menyelesaikan pendidikan strata 1. Diletakannya pun di belakang nama.
Belakangan disepakati bahwa, untuk mendapatkan gelar Insinyur, seseorang harus menyelesaikan pendidikan tinggi dengan mengantungi lebih dari 160 SKS. Namun sejak tahun 1993, untuk lulus dari pendidikan tinggi teknik , mahasiswa hanya harus menyelesaikan 144 SKS dengan masa kuliah 4 tahun. Mulai saat itu juga lulusannya bergelar ST. Lambat laun gelar Insinyur seperti hilang dan seolah menjadi sejarah. Hanya PII yang terus menghimpun anggotanya, para insinyur. Pada saat itu terjadi kesepakatan bahwa ST adalah gelar akademis yang diberikan perguruan tinggi, dan Insinyur adalah gelar profesi yang diberikan karena yang bersangkutan berkarir atau berprofesi di bidang keinsinyuran. PII sangat berkepentingan dengan masalah gelar ini, yang sejak tahun 1997, sistemnya memberi gelar Insinyur Profesional (IP) yang diakui kesetaraannya di lingkungan APEC, dengan syarat harus menyandang gelar Insinyur terlebih dulu.
Pada 2003, UU SISDIKNAS No 20/2003 disahkan. Pasal 21 UU ini menyatakan bahwa gelar profesi hanya diberikan oleh perguruan tinggi (Perti). Pengaturan yang lebih lengkap muncul di UU DIKTI No 12/2012 pasal 24, yang mulai menyebut program profesi sebagai pendidikan untuk sarjana guna memeroleh kecakapan yang diperlukan dalam dunia kerja. Program profesi diselenggarakan oleh Perti bekerja sama dengan organisasi profesi. Lulusan program profesi ini berhak menggunakan gelar profesi, termasuk apa yang sekarang dikenal sebagai program profesi insinyur. Setelah PII berjuang hampir 20 tahun, akhirnya lahirlah UU No 11/2014 tentang Keinsinyuran. Pengesahan UU ini semakin menegaskan bahwa gelar profesi di bidang keinsinyuran adalah Insinyur, yang dapat disandang seseorang dengan mengikuti Program Profesi Insinyur (PPI). Menurut UU ini, seorang sarjana teknik atau ST yang ingin mendapat gelar Insinyur, dapat mengikuti PPI. Dari kajian yang dilakukan PII, program ini direncanakan memiliki nilai studi antara 18-36 SKS yang dua pertiganya adalah dengan magang di industri. Namun yang penting adalah semangat program ini yang bertujuan untuk menjadikan para ST siap berprofesi sebagai Insinyur.
Insinyur adalah universal, dengan kriteria insinyur yang berlaku universal. Acuan yang biasa digunakan dalam bidang keinsinyuran dunia adalah yang diperkenalkan oleh ABET (Accreditation Board for Engineering and Technology), sebuah lembaga akreditasi untuk program studi keinsinyuran yang berlokasi di Amerika Serikat. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang insinyur. Di sisi lain, Insinyur juga mempunyai standar nasional, sehingga perlu memahami standar layanan insinyur serta hak dan kewajiban insinyur sebagaimana yang tertera dalam UU Keinsinyuran. Dengan demikian, kini, kita memasuki era baru bahwa gelar Insinyur dapat digunakan secara luas dan legal, asal telah lulus dari Program Profesi Insinyur yang diselenggarakan bersama oleh Perti dan PII.

Pembangunan Keinsinyuran Indonesia
Prof. Dr. Ir. Harijono A. Tjokronegoro, DEA, IPM.
Guru Besar Institut Teknologi Bandung
Kehadiran UU Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran adalah solusi pembangunan keinsinyuran Indonesia sehubungan dengan keberadaannya dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sebagaimana diketahui, Indonesia bukan saja ketinggalan dalam jumlah, namun juga pada pengakuan kualitas insinyur yang menjadi tantangan amat penting pembangunan daya saing menghadapi kesejajaran dengan negara-negara di ASEAN. Untuk itu, UU Keinsinyuran dimaksudkan guna menjawab tantangan tersebut, dengan mengatur pembangunan keinsinyuran di Indonesia melalui dua tahap, yaitu program (pendidikan) profesi insinyur dan registrasi insinyur profesional, di mana ujung dari keduanya adalah ijin bagi insinyur (termasuk insinyur asing) untuk melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia. UU Keinsinyuran menjamin serta memberikan perlindungan hukum bagi insinyur teregistrasi (registered engineer), pengguna (yang memekerjakan tenaga insinyur),maupun pemanfaat (masyarakat yang memanfaatkan karya insinyur) yang berkenaandengan kegiatan dan karya keinsinyuran. Kata kunci UU Keinsinyuran adalah kepastian hukum bagi penyelenggara keinsinyuran, perlindungan hukum bagi pengguna dan pemanfaat karya keinsinyuran, kewenangan insinyur, kewajiban, tanggung jawab dan hak insinyur, serta program (pendidikan) profesi insinyur oleh perguruan tinggi.
Dalam pendidikan insinyur, UU Keinsinyuran mengamanatkan kepada perguruan tinggi (PT), bersama-sama dengan PII serta pemangku kepentingan terkait, untuk menyelenggarakan program (pendidikan) profesi insinyur (PPI). Dalam pelaksanaannya, atas usul PT dan Dewan Insinyur Indonesia, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan menerbitkan standar PPI untuk disiplin/bidang keinsinyuran yang dibutuhkan oleh industri dan/atau masyarakat. Mereka yang dinyatakan lulus dari PPI akan mendapatkan gelar insinyur (Ir) di depan nama yang bersangkutan dari PT penyelenggara PPI. Dan bagi mereka yang telah memenuhi standar PPI, baik melalui program profesi atau program rekognisi pembelajaran lampau (RPL), serta telah lulus PPI akan mendapatkan sertifikat profesi insinyur (SPI) yang diterbitkan oleh Persatuan Insinyur Indonesia. Dengan pengakuan tersebut, setiap orang yang memiliki SPI dapat melakukan pekerjaan (praktik) keinsinyuran yang dilindungi oleh undang-undang sesuai kualifikasi yang dimilikinya. SPI adalah „tiket bagi sesorang untuk berkarier sebagai insinyur profesional.
UU Keinsinyuran juga memberi mandat kepada Persatuan Insinyur Indonesia (PII) untuk menerbitkan surat tanda registrasi insinyur (STRI) kepada setiap insinyur profesional yang memiliki sertifikat kompetensi insinyur (SKI), yaitu mereka yang telah lulus uji kompetensi insinyur. Uji kompetensi insinyur dilakukan oleh suatu lembaga sertifikasi profesi (LSP) mandiri berdasarkan standar kompetensi yang ditetapkan oleh Dewan Insinyur Indonesia (DII). Dalam hal ini LSP menerbitkan sertifikat kompetensi insinyur (SKI) untuk setiap insinyur yang lulus uji kompetensi. Pemegang SKI dalam terminologi umum dikenal pula sebagai insinyur profesional (IP). Hanya kepada pemegang STRI (yaitu pemilik SKI) yang kemudian dapat melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia, beserta sanksi-sanksi yang melekat bagi yang tidak memiliki STRI namun melakukan pekerjaan keinsinyuran. Demikian pula halnya insinyur asing yang hendak melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia. Mereka harus memiliki STRI yang berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui melalui program pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) dan proses uji ulang kompetensi oleh LSP terkait.
 Untuk semua di atas, yang menjadi objektif keinsinyuran, adalah mencakup disiplin teknik kebumian dan energi; rekayasa sipil dan lingkungan terbangun; industri; konservasi dan pengelolaan sumber daya alam; pertanian dan hasil pertanian; teknologi kelautan dan perkapalan; dan aeronautika dan astronotika.
Sementara itu, bidang-bidang keinsinyuran yang menjadi perhatian UU Keinsinyuran meliputi pengkajian dan komersialisasi; konsultasi, rancang bangun, dan konstruksi; teknik dan manajemen industri, manufaktur, pengolahan, dan proses produk; eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral; penggalian, penanaman, peningkatan, dan pemuliaan sumber daya alami; dan pembangunan, pembentukan, pengoperasian, dan pemeliharaan aset.
Dalam UU ini juga terdapat dua lembaga yang mendapatkan amanat langsung yang berhubungan dengan penyelenggaraan kinsinyuran di Indonesia, yaitu Dewan Insinyur Indonesia dan Persatuan Insinyur Indonesia. Dewan Insinyur Indonesia atau DII adalah lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden, yang memiliki fungsi perumusan kebijakan Penyelenggaraan dan pengawasan pelaksanaan praktik keinsinyuran di Indonesia. Diantara tugas serta kewenangan DII adalah berhubungan dengan standar PPI, standar PKB, dan menetapkan standar kompetensi serta uji kompetensi insinyur. Sedangkan Persatuan Insinyur Indonesia atau PII adalah himpunan insinyur Indonesia, yang memiliki fungsi pelaksanaan praktik keinsinyuran di Indonesia. Di antara tugas dan kewenangan PII adalah berhubungan dengan pelayanan keinsinyuran, pelaksanaan PPI bersama perguruan tinggi, pelaksanaan PKB, melakukan pengendalian dan pengawasan bagi terpenuhinya kewajiban insinyur, dan menerbitkan, memperpanjang, membekukan dan mencabut STRI.
 Dengan terdapatnya perlindungan hukum atas hak serta kewenangan insinyur yang diatur oleh UU Keinsinyuran, maka akan didapat bukan saja pertumbuhan jumlah isinyur, namun juga peningkatan atas kualitas insinyur guna penguatan kemandirian hingga daya saing insinyur dan keinsinyuran Indonesia. Tidak ada pilihan, setiap institusi dan atau organisasi harus segera melakukan upaya kualifikasi (mendapatkan SKI) hingga registrasi (mendapatkan STRI) untuk setiap insinyur yang dimilikinya sehingga institusi yang bersangkutan memiliki kapasitas untuk menjalankan berbagai pekerjaan atau praktik keinsinyuran. Kehadiran UU Keinsinyuran diharapkan pula mampu menumbuhkan minat dan kesadaran individu untuk berkarier sebagai insinyur profesional dengan pengakuan kompetensi (memiliki SKI) hingga memiliki STRI yang dilindungi undang-undang. Dan dengan cara demikian maka daya saing insinyur Indonesia dapat terwujud, bukan saja untuk MEA namun juga untuk kemandirian pembangunan Indonesia.
Menuju diberlakukannya secara penuh UU Keinsinyuran, serta sambil menunggu terbentuknya Dewan Insinyur Indonesia (DII) - yang antara lain akan menetapkan rumusan kebijakan yang berhubungan dengan kualifikasi dan kompetensi insinyur Indonesia - Persatuan Insinyur Indonesia (PII) membuka kesempatan kepada mereka yang telah memiliki cukup pengalaman dalam pekerjaan keinsinyuran untuk menjadi anggota PII dan mendapatkan pengakuan insinyur profesional (IP). PII pada saat ini menerbitkan tiga macam kualifikasi IP (setara dengan SKI), yaitu IP Pratama (IPP), IP Madya (IPM) dan IP Utama (IPU). Kualifikasi IP diberikan kepada anggota PII berdasarkan kompetensi yang dapat ditunjukkan/dibuktikan berdasarkan pengalaman yang dimiliki anggota. Mereka yang mendapatkan pengakuan IP dari PII, menurut UU Keinsinyuran, dinyatakan sebagai insinyur teregistrasi, atau setara pemegang STRI.Upaya ini dimaksudkan guna mempercepat tumbuhnya jumlah IP yang diakui oleh UU Keinsinyuran guna terwujudnya daya saing keinsinyuran bangsa. PII menerbitkan sertifikat pengakuan IPP, IPM, dan IPU berdasarkan rekomendasi dari Majelis Penilai (MP) berbasis hasil penilaian kompetensi yang besangkutan, yang ditunjukkan/dibuktikan oleh himpunan pengalaman dalam pekerjaan keinsinyuran yang dituangkan di dalam form aplikasi insinyur profesional (FAIP).

Pada saat ini, melalui MP Badan Kejuruan (BK), PII melakukan penilaian kompetensi keinsinyuran untuk 15 bidang/kejuruan: Sipil, Teknik Arsitektur, Mesin, Kimia, Teknik Fisika, Teknik Pertanian, Teknik Kedirgantaraan, Teknik Kebumian dan Energi, Teknik Elektro, Teknik Material, Teknik Industri, Teknologi Pertambangan, Teknik Geodesi, Teknik Kelautan, dan Teknik Lingkungan. PII adalah anggota dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), ASEAN Engineer, dan APEC Engineer. Dengan demikian, melalui PII, setiap anggota PII mempunyai hak untuk mendapatkan pengkuan dari LPJK (mendapatkan sertifikat keahlian atau SKA), ASEAN Engineer Register, dan APEC Engineer Register, sesuai dengan kualifikasi yang dimilikinya.

Penegakan hukum Terhadap Pelanggaran Hak Cipta VCD di Yogyakarta


Hak cipta menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana definisi yang telah disebutkan dalam pasal tersebut bahwa Hak Cipta merupakan hak yang dimonopoli bagi penciptanya untuk memberikan izin atau tidaknya sebuah karya cipta, tentunya hal ini memberikan implikasi bagi pihak yang mempergunakan suatu ciptaan orang lain tanpa seizin pemilik Hak Cipta tersebut maka merupakan suatu pelanggaran. Melihat kenyataan saat ini, banyak kita temukan hasil pelanggaran Hak Cipta seperti pembajakan film, musik yang sangat mudah ditemukan untuk diperjual belikan di sekitar kita.
Informasi diperoleh dari salah satu pedagang bahwa mereka telah berjualan selama bertahun-tahun sebagai mata pencaharian utama dengan berdagang VCD maupun DVD bajakan. Adapun proses peredaran VCD bajakan di daerah Yogyakarta dijabarkan pada bagan sebagai berikut:
Penegakan Hukum Pelanggaran Hak Cipta di Kawasan Yogyakarta
Penegak hukum merupakan suatu alat negara yang berfungsi untuk menegakkan peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaaan, seperti Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara (Advokat), dan lain sebagainnya. Penegakan hukum yang dilakukan Polda DIY terhadap pelanggran Hak Cipta di wilayah Yogyakarta terdiri dari dua cara yaitu sebagai berikut:
A. Tindakan Represif
Upaya penindakan yang dilakukan oleh Aparatur Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menanggulangi pelanggaran Hak Cipta adalah sebagai berikut:
A) Penyelidikan dan Penyidikan
B) Penangkapan
C) Penggeledahan
D) Penyitaan
B. Tindakan Preventif
Upaya pencegahan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk mencegah secara langsung terjadinya kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan tindak pelanggaran terhadap Hak Cipta. Adapun kegiatan yang dilakukan Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menaggulangi pelanggran Hak Cipta di wilayah Yogyakarta adalah:
A. Sosialisasi Kepada Masyarakat
B. Rapat Koordinasi
Hambatan dan Kendala POLDA DIY dalam Upaya Penegakan Hukum Pelanggaran Hak Cipta di Kawasan Yogyakarta
Dalam menangani permasalahan penegakan hukum terhadap pelanggaran Hak Cipta yang terjadi di wilayah Yogyakarta, aparat penegak hukum khususnya jajaran Polda DIY mengalami hambatan yang Menyebabkan kurang efektifnya penegakan hukum itu sendiri. Adapun beberapa hambatan atau kendala yang dihadapi jajaran Polda DIY dalam upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran Hak Cipta tersebut adalah sebagai berikut.
A. Permasalahan Ekonomi
Permasalahan Ekonomi dimaksud bahwa pada umumnya praktik pelanggaran Hak Cipta yang terjadi di wilayah Yogyakarta merupakan kegiatan menjual atau mengedarkan barang hasil Pelanggaran Hak Cipta baik berupa menjual VCD/DVD maupun buku-buku yang bukan asli (bajakan), dimana hal tersebut mayoritas dilakukan oleh pedagang kecil atau kaki lima Dengan dilatar belakangi faktor ekonomi
B. Permasalahan Barang-barang hasil pelanggaran
Maksud barang-barang hasil pelanggaran ialah barang barang yang merupakan hasil dari adanya pelanggran hukum Hak Cipta merupakan barang-barang yang didistribusikan berasal dari Luar daerah Yogyakarta
C. Minimnya kesadaran masyarakat
Maksud mininya kesadaran masyarakat ialah presepsi masyarakat terhadap barang-barang bajakan lebih murah  dibandingkan dengan barang yang asli sehingga mereka lebih memilih barang bajakan karena lebih murah dan mudah diperoleh walaupun dengan kualitas yang jauh berbeda dengan yang asli.
D. Kurangnya kerjasama dari pihak percetakan/penerbit
Maksud kurangnya kerjasama dari percetakan ialah khusunya pelanggaran Hak Cipta pada buku-buku, bahwa kesulitan yang dialami Polda DIY dikarenakan masih tertutupnya pihak percetakan dalam upaya kerjasama pencegahan pelanggaran Hak Cipta.


sumber: