ANALISIS IMPLEMENTASI
HAM DI INDONESIA
IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang
melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur
hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik
kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan
status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Melanggar HAM
seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi
manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi
manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih
banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia
ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik
Pada saat ini HAM telah menjadi issue global, yang tidak mungkin
diabaikan dengan dalih apapun termasuk di Indonesia. Konsep dan implementasi
HAM di setiap negara tidak mungkin sama, meskipun demikian sesungguhnya sifat
dan hakikat HAM itu sama. Dalam hal ini, ada tiga konsep dan model pelaksanaan
HAM di dunia yang dianggap mewakili, masing-masing di negara-negara Barat,
Komunis-Sosialis dan ajaran Islam. Adanya HAM menimbulkan konsekwensi adanya
kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel dan merupakan satu
kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan
pelanggaran HAM itu sendiri. Khusus tentang implementasi HAM di Indonesia,
meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dan belum
kondusifnya mekanisme penyelesaiannya,, tetapi secara umum baik menyangkut
perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan. Hal ini
terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan
serta dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus
pelanggaran HAM berat yang terjadi. Di indonesia sendiri, Ada beberapa hal yang
di anggap sering menyimpang dalam pengimplementasian HAM yaitu hak untuk
beragama, hak untuk berpendapat dan hak dalam bidang pendidikan.
1. Pelaksanaan HAM
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang di
bawa manusia sejak ia hidup yang melekat pada esensinya sebagai anugrah Tuhan
yang maha kuasa. Bila hak asasi manusia belum dapat di tegak kan maka akan
terus terjadi pelanggaran dan penindasan atas Ham baik oleh masyarakat, bangsa,
atau pemerintah. Tak bisa di pungkiri bumi sebagai tempat hunian manusia adalah
satu. Namun para penghuninya terdiri dari berbagai suku , ras, bahasa, profesi
, kultur dan agama. Dengan demikian fenomena kemajemukan tak bisa dihindari.
Hak asasi artinya hak-hak yang didapatkan setiap
individu sejak lahir. Di dalam hak asasi itu, sesuai pernyataan umum PBB, agama
termasuk salah satunya. Dalam “Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, diterjemahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa”
pasal 18 menyatakan :
“Setiap orang berhak atas kebebasan
pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama
atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan
cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Dengan demikian, memilih agama, termasuk tidak
beragamaadalah hak sepenuhnya bagi setiap individu tanpa intervensi dari
individu yang lain. Melaksanakan ibadah dan mempraktekkannya juga adalah hak
asasi, namun ingat, orang lain juga punya hak asasi yang sama yang tidak boleh
diganggu dengan pelaksanaan ibadah dan praktek dari agama kita.
Di Indonesia dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di
Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”,Pasal 28E ayat (2) UUD
1945 ,28I ayat (1) UUD 1945 , Pasal 29 ayat (2) UUD
1945 .Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal
28J ayat (1) UUD 1945 , Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Jadi, hak
asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada
pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.
Pasal-pasal di atas menunjukkan bahwa di
Indonesia mengakui kemajemukan dalam beragama. Jika ditafsirkan secara bebas,
undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan beragama,
yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk mengekspresikan
fikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.
HAM dalam beragama di Indonesia benar-benar
sudah diatur dalam konstitusi negara kita. Namun, masalah implementesinya masih
jauh dari harapan kita. Di Indonesia banyak terjadi konflik-konflik yang pemicu
utamanya adalah masalah kebebasan dalam beragama. Contoh yang paling nyata yang
kemunculannya membuat pihak-pihak tertentu meradang dan menjadikan konflik
berkepanjangan adalah kemunculan aliran-aliran sesat di Indonesia. Jika kita membicarakan
aliran-aliran sesat di Indonesia pasti akan bermuara pada satu agama yaitu
Islam. Banyak sekali aliran-aliran yang bernuansa Islam namun ajarannya tidak
sesuai dengan ajaran Islam.
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa aliran tersebut sesat. Pimpinan
Komunitas Eden (Lia) dan Al-Qiyadah (Ahmad Mushadeeq) akhirnya dipenjara. Kasus
Alquran Suci tidak begitu jelas penyelesaiannya karena gerakannya yang terkesan
sembunyi-sembunyi.Yang masih menyisakan konflik horizontal berkepanjangan
adalah Ahmadiyah. Masih segar dalam ingatan kita bentrok antara Front Pembela
Islam (FPI) dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
(AKKBB) pada 1 Juni lalu. FPI menduga AKKBB telah mendukung adanya keberadaan
Ahmadiyah yang menimbulkan kemarahan umat Islam. Aliran Ahmadiyah menimbulkan
gejolak terbesar. Pendukung Ahmadiyah tidak kalah kuatnya dengan penentangnya,
dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid hingga para pegiat hak asasi manusia
(HAM).
Konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan di
Indonesia mengandung konotasi positif. Artinya, tidak ada tempat
bagi ateisme atau propaganda antiagama di Indonesia. Ini sangat berbeda dengan
konsep di AS yang memahami freedom of religion, baik dalam arti positif maupun
negatif seperti diungkapkan Sir Alfred Denning bahwa kebebasan beragama berarti
bebas untuk beribadah atau tidak beribadah, meyakini adanya Tuhan atau
mengabaikannya, beragama Kristen atau agama lain atau bahkan tidak beragama
(Azhary, 2004).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948
menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan agama (Pasal 18). Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan
berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945
dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Pasal 22 UU No 39/1999
tentang HAM.
Negara berkewajiban menghormati dan menjamin
kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah
kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal
usulnya. Dalam konsep HAM, hak kebebasan beragama masuk ke ranah hak sipil dan
hak politik
Hak ini termasuk ke dalam dimensi non-derogable,
artinya tidak bisa ditawar atau dikurangi dalam keadaan apa pun sehingga negara
harus memenuhinya.Pihak-pihak pro-Ahmadiyah menggunakan pasal-pasal di atas
untuk membenarkan dan membela kelompok Ahmadiyah. Mereka menerjemahkan HAM
sebagai hak yang sebebas-bebasnya termasuk dalam beragama dan berkeyakinan.
Dalam pemahaman secara sempit pendapat ini dapat dibenarkan.Namun, jangan lupa
bahwa dalam HAM juga dikenal adanya kewajiban asasi manusia dan pembatasan
terhadap HAM itu sendiri. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa: (1) Setiap orang
wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap
orang tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum.Ketentuan ini diperkuat
dalam Pasal 73 UU No.39/1999 tentang HAMKebebasan untuk menjalankan agama atau
kepercayaan seseorang dapat dibatasi demi kepentingan melindungi keselamatan
dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan
kebebasan orang lain.
Meski demikian, satu-satunya pihak yang
mempunyai otoritas pembatasan HAM adalah negara. Segala bentuk kekerasan dalam
mengatasi persoalan agama justru akan kontraproduktif dengan upaya penegakan
HAM. Pemerintah harus segera mengambil tindakan pencegahan agar konflik
horizontal tidak membesar.Pembubaran atau pelarangan Ahmadiyah bukan
satu-satunnya jalan penyelesaian. Usulan dari mantan Menteri Hukum dan HAM
Yusril Izha Mahendra agar Ahmadiyah dinyatakan pemerintah sebagai kelompok
minoritas non-Islam juga dapat menjadi jalan tengah penyelesaian konflik.
Namun, usulan Yusril juga harus diikuti larangan bagi Ahmadiyah untuk
menggunakan atribut dan ritual Islam. Karena meskipun dinyatakan sebagai
non-Islam apabila ritualnya ada kemiripan maka tetap akan ada konflik.
Peristiwa Monas merupakan hal yang patut
disesalkan. Segala bentuk kekerasan dengan alasan apa pun tetap tidak dapat
dibenarkan. Semoga ke depan pemerintah tidak akan ragu-ragu dan lambat dalam
memutuskan suatu hal yang rentan konflik karena akan dibayar mahal dengan biaya
sosial yang tinggi.
Contoh di atas hanya sekelumit persoalan
pluralisme dalam beragama di Indonesia. Memang harus diakui kebanyakan
permasalahan HAM dalam beragama muncul dari adanya kemunculan aliran-aliran
yang bernuansa Islam. Pelaksanaan HAM dalam beragama di Indonesia sendiri masih
banyak menyimpang dari Konstitusi negara Indonesia. Hal ini merupakan PR bagi
pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat, Lembaga-lembaga pemerintah sebagai
wakil rakyat, dan kita sebagai masyarakat yang menginginkan kedamaian. Jika
ketiga elemen tersebut mampu bersinergi dan bahu membahu dalam mewujudkan
kebebasan beragama maka tidak akan ada lagi konflik agama di dalam negara
kesatuan Republik Indonesia ini.
2. Pelaksanaan HAM dalam Kemerdekaan
Mengemukakan Pendapat
Pendapat secara umum diartikan sebagai buah gagasan atau buah
pikiran. Mengemukakan pendapat berarti mengemukakan gagasan atau mengeluarkan
pikiran. Dalam kehidupan negara Indonesia, seseorang yang mengemukakan
pendapatnya atau pikirannya dijamin secara konstitusional. Hal itu dinyatakan
dalam UUD 1945, Pasal 28, bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
Undang-Undang.Lebih lanjut pengertian kemerdekaan mengemukakan pendapat
dinyatakan dalam pasal 1 (1) UU No.9 Tahun 1998, bahwa kemerdekaan menyampaikan
pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan
lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang yang
mengatur kemerdekaan mengemukakan pendapat antara lain diatur dengan
Undang-undang No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di Muka
Umum. Pengertian di muka umum adalah di hadapan orang banyak atau oarang lain,
termasuk tempat yang dapat didatangi dan/ atau dilihat setiap orang.
Adapun
cara-cara mengemukakan pendapat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Lisan, contohnya pidato, ceramah, berdialog, berdiskusi, rapat umum.
2. Tulisan, contohnya poster, spanduk, artikel, surat.
3. Cara lain, contohnya foto, film, demonstrasi(unjuk rasa), mogok makan
1. Lisan, contohnya pidato, ceramah, berdialog, berdiskusi, rapat umum.
2. Tulisan, contohnya poster, spanduk, artikel, surat.
3. Cara lain, contohnya foto, film, demonstrasi(unjuk rasa), mogok makan
Mengeluarkan pikiran secara bebas adalah mengeluarkan pendapat,
pandangan, kehendak, atau perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis, atau
pembatasan yang bertentangab dengan tujuan pengaturan tentan kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum (Penjelasan Pasal 5 UU No. 9 Tahun 1998).
Warga negara yang menyampaikan pendapatnya di muka umum berhak untuk mengeluarkan
pikiran secar bebas dan memperoleh perlundungan hukum (Pasal 5 UU No. 9 Tahun
1998). Dengan demikian, orang bebas mengeluarkan pendapat tetapi juga perlu
pengaturan dalam mengeluarkan pendapat tersebut agar tidak menimbulkan konflik
yang berkepanjangan antar-anggota masyarakat. Pentingnya kemerdekaan
mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab dapat dilihat dalam
tujuan pengaturan tentang kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum
sebagai berikut (Pasal 4 UU No.9 Tahun 1998):
1. Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung
jawab dimaksudkan untuk mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai
salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;
2. Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung
jawab dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan
berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
3. Kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung
jawab dimaksudkan untuk mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya
partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan
tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.
4. kemerdekaan mengemukakan pendapat secarabebasa dan bertanggung
jawab dimaksudkan untuk mendapatkan tanggung jawab sosial kehidupan
bermasyarakar, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan
atau kelompok.
Oleh karena itu, ada
beberapa asas yang harus di taati dalam kemerdekaan mengemukakan pendapatdi
muka umum (Pasal 3 UU No.9 Tahun 1998), yaitu:
1. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban,
2. Asas musyawarah dan mufakat,
3. Asas kepastian hukum dan keadilan,
4. Asas proporsionalitas, dan
5. Asas manfaat.
Kewajiban dan tanggung jawab warga negara dalam melaksanakan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dn bertanggung jawab di muka umum (Pasal 6 UU No.9 Tahun 1998) terdiri atas:
1. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban,
2. Asas musyawarah dan mufakat,
3. Asas kepastian hukum dan keadilan,
4. Asas proporsionalitas, dan
5. Asas manfaat.
Kewajiban dan tanggung jawab warga negara dalam melaksanakan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dn bertanggung jawab di muka umum (Pasal 6 UU No.9 Tahun 1998) terdiri atas:
1. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain,
2. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum,
3. Mentaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
4. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, dan
5. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada sisi lain aparatur pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam melaksanakan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab di muka umum (Pasal 7 UU No.9 Tahun 1998), yaitu:
1. Melindungi hak asasi manusia,
2. Menghargai asas legalitas,
3. Menghargai prinsip praduga tidak bersalah, dan
4. Menyelenggarakan pengamanan.
Sedang
masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab agar penyampaian
pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai (Pasal 8
UU No.9 Tahun 1998).Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan
dengan unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, atau mimbar bebas. Unjuk
rasa atau demonstrasi sebagai salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka
umum adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif
di muka umum. Rapat umum adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum
yang dihadiri oleh orang banyak dengan tema tertentu. Adapun pengertian pawai
adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan oleh orang
banyak dengan cara melakukan perarakan. Sedangkan mimbar bebas adalah kegiatan
menyampaikan pendapat di muka umum yang dihadiri oleh orang banyak dengan
bebas, tema dan pembicaraan di lakukan secara bersifat spontan.
Mengemukakan pendapat bagi setiap warga negara dapat dilakuka
melalui berbagai saluran. Pada prinsipnya saluran itu dapat dibagi menjadi dua,
yaitu saluran tradisional dan saluran moderen. Saluran tradisional adalah
saluran yang sejak dahulu kala sudah merupakan sarana komunikasi antar-manusia,
baik secara pribadi maupun kelompok. Saluran-saluran komunikasi tradisional
antara lain sebagai berikut:
1. Pertemuan antar-pribadi, misalnya ketika seseorang berkunjung kerumah tetangganya, ketika seseorang bertemu dengan teman atau sahabatnya disuatu tempat, atau ketika seseorang mengirim surat kepada temannya yang jauh.
2. pertemuan atau forum umum yang
dihadiri oleh orang cukup banyak, seperti rapat musyawarah yang di lakukan di
sekolah, di kantor, di kampung dan sebagainya. Forum ini dapat juga berbentuk
pawai, unjuk rasa dan rapat umum di lapangan terbuka.
Adapun saluran atau sarana komunikasi moderen
adalah saluran komunikasi yang menggunakan media dengan peralatan atau
teknologi moderen. Saluran komunikasi moderen ini dapat dilakukan antar
pribadi, tetapi dapat juga dilakukan secara bersama (menjangkau banyak orang).
Bentuk-bentuk saluran komunikasi moderen itu antara lain:
1. Saluran komunikasi
antar pribadi, seperti telepon (baik melalui kabel maupun non-kabel, seperti
handphone), faksimile, dan surat elektronik (e-mail) melalui internet.
2. Saluran komunikasi massa, meliputi dua macam, yaitu media massa
cetak dan media massa elektronik. Media massa cetak meliputi: koran, majalah,
jurnal, buku, dan terbitan berkala lainnya, seperti liflet, selebaran, dan
buletin. Adapun media massa elektronik, mencakup radio, televisi, dan internet.
Penggunaan saluran komunikasi merupakan salah satu perwujudan
pelaksanaan hak asasi manusia. Hal itu sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam
Pasal 28E (3) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dalam ketentuan tersebut berarti setiap
orang memiliki hak kebebasan mengeluarkan pendapat. Setiap orang dapat
menggunakan berbagai cara, berbagai bentuk, dan berbagai saluran dalam
menerapkan kemerdekaan mengemukakan pendapatnya. Hal tersebut sejalan dengan
jaminan setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (Pasal 28F
UUD 1945). Hak-hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi,
berupa:
1. hak untuk berkomunikasi
2. hak untuk memperoleh informasi
3. hak untuk memiliki informasi
4. hak untuk mencari informasi
5. hak untuk menyimpan informasi
6. hak untuk mengolah informasi
7. hak untuk menyampaikan informasi
8. hak untuk menggunakan segala jenis saluran informasi
Apabila kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas tanpa
pertanggung jawaban, maka akan menimbulkan hal-hal ynag bersifat negatif dalam
masyarakat. Demonstrasi, pawai, rapat umum, atau mimbar bebas ynag tidak
terkendali dapat mengarah pada tindakan pengrusakan, penjarahan, pembakaran,
bentrok massal, korban luka, bahkan ada korban meninggal dunia. Oleh karena
itu, kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab
merupakan hak dan sekaligus juga kewajiaban stiap warga negara di Indonesia.
Pembatasan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab
tertulis dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 UU No.9 Tahun 1998 seperti telah
dijelaskan diatas. Perangkat perundang-undangan dalam mengatur kemerdekaan
mengemukakan pendapat pada dasarnya dimaksudkan agar setiap orang dalam
mengemukakan pendapatnya dilakukan secara bebas dan bertanggung jawab. Dengan
demikian norma-norma masyarakat tetap dijunjung tinggi dalam rangka menghormati
hak orang lain. Oleh karena itu, kita hendaknya dapat menghargai kemerdekaan
mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan HAM dalam Bidang Pendidikan
di Indonesia
Hak atas pendidikan sebagai bagian dari
hak asasi manusia di Indonesia tidak sekadar hak moral melainkan juga hak
konstitusional. Ini sesuai dengan ketentuan UUD 1945 (pascaperubahan),
khususnya Pasal 28 C Ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak memperoleh pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Selain ketentuan di atas, Pasal 31 ayat (2)
UUD 1945 (pasca perubahan) juga merumuskan bahwa setiap warga Negara wajib
mengikuti pendidikan dasar, sedangkan pemerintah wajib membiayainya. Pasal 31
ayat (3) dan (4) menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk
mengusahakan penyelenggaraan pengajaran nasional dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa dengan memprioritaskan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
Demikian pula ketentuan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
menegaskan jaminan hak atas pendidikan. Pasal 60 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia memperkuat dan memberikan perhatian khusus pada
hak anak untuk memperoleh pendidikan sesuai minat, bakat dan tingkat
kecerdasannya. Penegasan serupa tentang hak warga negara atas pendidikan juga
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan,
negara menjadi pihak utama yang bertanggung jawab untuk menjaminnya. Pada Pasal
53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
terdapat penegasan bahwa negara — dalam hal ini pemerintah — memiliki tanggung
jawab memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan
khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak terlantar, dan anak yang
bertempat tinggal di daerah terpencil.
Saat ini secara makro, pendidikan kita memang
berhasil mencatat angka-angka signifikan tentang infrastruktur pendidikan yang
telah dibangun. Jika dibanding beberapa negara tetangga, peserta didik yang
berhasil kita tamatkan dari semua jenjang pendidikan, ditambah dengan
pengangkatan tenaga pendidik, kita pun berada di level terdepan. Namun fenomena
paradoksal terlihat pada keluaran pendidikan kita, ketika Human
Development Index peserta didik kita dibanding negara tetangga,
seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, sangat tertinggal jauh.
Hal tersebut dipicu oleh cara pandang pendidikan
kita yang masih sarat akan pragmatisme dan diskriminasi. Kedua hal tersebut
sudah lama menjadi penyakit kronis yang terus menggerogoti sistem pendidikan
nasional kita dari waktu ke waktu. Mulai kultur pergantian pejabat tinggi
pendidikan yang berimbas pada pergantian sistem dan mekanisme pendidikan sampai
pola rekrutmen, promosi, dan pemberian reward and punishment tenaga/pejabat
pendidikan, semuanya dilakukan masih dalam konteks pendekatan pragmatis,
diskriminatif, dan berbau korupsi.
Paradigma penataan pendidikan seperti itu tak
pelak lagi menyulut terjadinya bias efek di hampir semua lini. Sampai sekarang,
ada sekitar 20 juta anak usia 7-15 tahun yang belum/tidak tersentuh layanan
pendidikan dasar, termasuk mereka yang gagal dari sekolah. Lalu ada 8 juta
lebih anak usia 16-20 tahun yang tidak dapat mengecap pendidikan tingkat
menengah dan lebih dari 2 juta alumni sekolah menengah umum yang tidak mampu
menginjakkan kaki di perguruan tinggi akibat biaya pendidikan yang dari waktu
ke waktu terus menggila. Jangankan perguruan tinggi atau SMU, anak-anak usia
dini yang didaftar untuk memperoleh pendidikan jenis TK saja pada umumnya sudah
mengenakan tarif sampai jutaan rupiah, apalagi jika lembaga tersebut dalam
bentuk playgroup, biayanya tentu semakin memperlebar jurang
diskriminasi. Tak ayal lagi kebanyakan orang tua dengan penghasilan hanya cukup
untuk sekadar mengepulkan asap dapur lebih memilih menelantarkan anak mereka di
emper-emper jalan, kerja serabutan, dan berbagai pekerjaan kasar lainnya
daripada memasukkannya ke taman-taman pendidikan.
Perilaku destruktif lain di dunia pendidikan
mencakup praktek jual-beli nilai dan sogok-menyogok untuk masuk dan tamat dari
dunia pendidikan. Banyak guru yang lebih mendahulukan pekerjaan sambilan
daripada tugas reguler/pokok, dan memiliki perilaku hobi menerima upeti dari
orang tua siswa daripada mendidik siswa dengan sepenuh hati.
Di zaman kini sudah sulit kita jumpai seorang
guru/dosen mengajar dengan persiapan penuh, misalnya dalam hal
penguasaan/pembacaan literatur dua-tiga hari sebelumnya disertai alat peraga
atau media pembelajaran berbasis teknologi. Umumnya tiba masa tiba akal, datang
terlambat, cepat pulang. Dekadensi moral dalam dunia pendidikan sudah bukan
cerita baru. Sejumlah oknum guru/dosen terlibat kekerasan hingga pelecehan
seksual terhadap peserta didik.
Fenomena buruk seperti ini semakin menambah
panjang daftar problematik yang melilit dunia pendidikan kita dewasa ini.
Padahal dalam program pembangunan nasional dicanangkan bahwa bangsa kita pada
2015, konon, akan memasuki era kemakmuran ekonomi, sosial, budaya, dan politik,
yang ditopang oleh pendidikan yang murah, aksesibel, serta bermutu. Itulah
sebabnya, penataan pendidikan nasional kita berbasis kompetensi dengan maksud
agar penyelenggara dan peserta didik proaktif mengaktualisasi diri terhadap
materi pembelajaran secara simultan.
Sungguh amat disesalkan karena sudah lebih dari
dua dasawarsa program tersebut dicanangkan, hingga saat ini tanda-tanda untuk
mencapai titik kulminasi justru semakin kabur, suram, dan gelap. Sistem dan
mekanisme pengelolaan pendidikan yang selama ini cenderung dirasakan
diskriminatif dan pragmatis bukan hanya tidak dapat direduksi, apalagi
dihilangkan, malah tampak semakin digalakkan dan tumbuh subur dalam berbagai
elemen penyelenggaraan pendidikan.
Salah satu paradigma kebijakan pendidikan kita
yang mempertontonkan praktek diskriminasi adalah sekolah bertaraf internasional
(SBI) ataupun rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Betapa tidak,
karena SBI dan RSBI hanya mengukur prestasi peserta didik semata-mata dari
kemampuan akademis. Padahal konsep prestasi kecerdasan bukan hanya prestasi
intelektual (IQ), tapi juga kecerdasan emosional (EQ) ataupun kecerdasan
spiritual (SQ). Begitu eksklusifnya SBI ini, maka biaya pengadaan fasilitas dan
operasional dalam mencapai target kualifikasi SBI tidak disangsikan lagi tentu
jauh lebih besar daripada sekolah biasa. Tingkat perhatian otoritas pendidikan
dalam bentuk kunjungan kerja hingga kemudahan akses beasiswa dan promosi bagi
peserta didik ataupun tenaga pendidiknya pasti lebih intensif daripada sekolah
biasa.
Kita memang tidak dapat memungkiri bahwa
peradaban modern sebagaimana dicapai dunia Barat karena faktor pembangunan
sumber daya manusia. Tapi pembinaan intelektualitas dengan cara pragmatis,
linear, dan diskriminatif sebagaimana dikemukakan di atas hanya akan melahirkan
jargon intelektualitas unggul dalam ranah ekshibisi dan kontes semata. Penulis
berkeyakinan, sebuah peradaban yang bagaimanapun mapannya bukanlah prakarsa
orang per orang dari kalangan elite ataupun intelektual tertentu, melainkan
hasil kontribusi secara kumulatif seluruh anak negeri tanpa kecuali.