media sosial dan remaja
saat ini teknologi semakin maju, hadirnya internet adalah
suatu anugrah yang semakin dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kegiatan
sosialisasi, bisnis, dsb. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh vendor smartphone
yang berkembang pesat pengunaannya dan menjadi trend . Hampir semua
orang memiliki smartphone , dengan semakin majunya internet dan hadirnya
smartphone maka media sosial pun ikut berkembang pesat.
Media sosial merupakan situs dimana seseorang dapat
membuat web page pribadi dan terhubung dengan setiap orang yang
tergabung dalam media sosial yang sama untuk berbagi informasi serta berkomunikasi.
Media sosial mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan
memberi feedback secara terbuka, serta membagi informasi dalam waktu
yang cepat dan tak terbatas. Kalangan remaja yang mempunyai media sosial biasa
nya memposting tentang kegiatannya, serta foto-foto. Semakin aktif seorang
remaja di media sosial maka mereka semakin dianggap keren dan gaul dan
sebaliknya remaja yang tidak mempunyai media sosial biasanya dianggap
ketinggalan jaman, dan kurang bergaul.
Media sosial menghapus batasan-batasan dalam
bersosialisasi. Dalam media sosial tidak ada batasan ruang dan waktu, mereka
dapat berkomunikasi kapanpun dan dimanapun mereka berada. Tidak dapat
dipungkiri bahwa media sosial mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan
seseorang. Bagi kalangan remaja, media sosial seakan sudah menjadi candu, tiada
hari tanpa membuka media sosial, bahkan hampir 24 jam mereka tidak lepas dari smartphone.
Masing-masing media sosial mempunyai keunggulan khusus dalam menarik banyak
pengguna media sosial yang mereka miliki.Para pengguna media sosial pun dapat
dengan bebas berkomentar serta menyalurkan pendapatnya tanpa rasa khawatir. Hal
ini dikarenakan dalam internet khususnya media sosial sangat mudah memalsukan
jati diri atau melakukan kejahatan.
Dalam kajian sosiologi, maraknya media sosial erat
hubungannya dengan bagaimana kita bersosialisasi, berteman, berinteraksi.
Dengan munculnya media sosial tersebut kita mampu berkomunikasi satu sama lain,
dalam ilmu sosiologi hal tersebut dinamakan bentuk komunikasi langsung.
Komunikasi langsung dapat diartikan sebagai salah satu cara berinteraksi antara
seseorang dengan orang lain secara langsung, baik melalui chat maupun melalui
pesan.Jadi hubungan media sosial dengan ilmu sosiologi sangat erat. Dengan
media sosial kita mampu berinteraksi, dan berkomunikasi satu sama lain, bukan
hanya itu kita juga bisa mendapatkan teman baru dan kita juga bisa saling sharing
atau berbagi ilmu dan juga bisa memecahkan masalah yang sedang dihadapi di
masyarakat. Apabila kita menyalahgunakan media sosial tersebut, kita akan
membuat masalah bukan menyelesaikan masalah.
Media Sosial di Kalangan Remaja
Remaja adalah manusia yang tumbuh menjadi dewasa.
Remaja mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental,
emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja menunjukan dengan jelas sifat
transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak
lagi memiliki status anak. Masa remaja merupakan masa transisi sebab pada saat
itu, seseorang telah meninggalkan masa kanak-kanak namun ia juga belum memasuki
masa dewasa. Remaja saat ini sangat ketergantungan terhadap media sosial.
Mereka begitu identik dengan smartphone yang hampir 24 jam berada di
tangan dan sangat sibuk berselancar di dunia online yang seakan tidak
pernah berhenti. Melihat hal ini, Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN) bersama
Yahoo! melakukan riset mengenai penggunaan internet di kalangan remaja.
Hasilnya menunjukkan, kalangan remaja usia 15-19 tahun mendominasi pengguna
internet di Indonesia sebanyak 64%.
Penggunaan media sosial di kalangan remaja ini juga
menimbulkan pro dan kontra. Penggunaan media sosial seringkali mengganggu
proses belajar remaja, sebagai contoh ketika sedang belajar lalu ada notification
chatting dari teman yang akhirnya dapat mengganggu proses belajar, dan
kebiasaan seorang remaja yang berkicau berkali-kali di Twitter yang terkadang
hanya untuk mengeluhkan betapa sulit pelajaran yang sedang dia kerjakan.
Tidak berhenti sampai di situ saja. Yang lebih parah
ada beberapa kasus seorang remaja yang dilaporkan hilang oleh orangtuanya yang
ternyata kabur dengan teman yang baru dikenalnya di Facebook. Lalu apa yang
menyebabkan seorang remaja begitu aktif di jejaring sosial? Dalam sebuah
penelitian dinyatakan, media sosial berhubungan dengan kepribadian introvert.
Semakin introvert seseorang maka dia akan semakin aktif di media sosial
sebagai pelampiasan. Peran orangtua sangat dibutuhkan sebagai pengawas dan juga
sosok yang memahami anak. Keluarga harus dapat memberikan fungsi afektif agar
seorang anak mendapatkan perhatian yang cukup.
Di kota besar seperti Jakarta, seringkali para remaja
mengalami kekosongan karena kebutuhan akan bimbingan orangtua tidak ada atau
kurang. Hal ini disebabkan karena keluarga mengalami disorganisasi. Pada
keluarga yang secara ekonomis kurang mampu, hal tersebut disebabkan karena
orang tua harus mencari nafkah, sehingga tidak ada waktu sama sekali untuk
memperhatikan dan mengasuh anak-anaknya. Sedangkan pada keluarga yang mampu,
persoalannya adalah karena orang tua terlalu sibuk dengan urusan-urusan di luar
rumah dalam rangka mengembangkan prestise.
Kalangan remaja yang menjadi hiperaktif di media
sosial ini juga sering memposting kegiatan sehari-hari mereka yang seakan
menggambarkan gaya hidup mereka yang mencoba mengikuti perkembangan jaman,
sehingga mereka dianggap lebih populer di lingkungannya.
Namun apa yang mereka posting di media sosial tidak
selalu menggambarkan keadaan social life mereka yang sebenarnya. Ketika
para remaja tersebut memposting sisi hidup nya yang penuh kesenangan, tidak
jarang kenyataannya dalam hidupnya mereka merasa kesepian. Manusia sebagai
aktor yang kreatif mampu menciptakan berbagai hal, salah satunya adalah ruang
interaksi dunia maya. Setiap individu mampu menampilkan karakter diri yang
berbeda ketika berada di dunia maya dengan dunia nyata. Hal ini dalam sosiologi
disebut dengan istilah dramaturgi atau presentasi diri untuk menjelaskan
bagaimana seseorang menampilkan diri pada lingkungan atau panggung tertentu.
Teori dramaturgi dipopulerkan oleh Erving Goffman yang
pada intinya untuk memahami perilaku manusia dalam kehidupan sosial seperti
sebuah pertunjukan drama. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia
adalah tidak stabil dan bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan
orang lain.
Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama
dengan pertunjukan teater. Setiap individu adalah aktor yang berusaha membuat
pertunjukan dramanya sendiri. Dalam mencapai tujuannya, para remaja berusaha
mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Aktor juga
harus memperhitungkan setting, kostum, penggunaan kata dan lainnya untuk
meninggalkan kesan baik pada lawan interaksi dan memudahkan jalan untuk
mencapai tujuan yang oleh Goffman disebut manajemen daya tarik.
Goffman juga melihat perbedaan akting yang besar saat
aktor berada di atas panggung (front stage ) dan di belakang panggung (back
stage). Front stage adalah ketika adanya penonton yang melihat kita
dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk
memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton simpatik. Sedangkan back
stage adalah keadaan di mana kita berada di belakang panggung, dengan
kondisi tidak ada penonton, sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa
memperdulikan peran yang harus kita bawakan. Apabila bisa dilakukan dengan
baik, penonton akan termanipulasi dan melihat aktor sesuai sudut yang ingin
ditampilkan oleh aktor tersebut.
Namun segalanya berubah ketika kita melihat para
remaja tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Panggung tempat mereka bermain
adalah panggung back stage, tidak ada penonton dari teman-teman nya di
media sosial, mereka menampilkan peran yang berbeda dengan apa yang mereka
bangun di panggung front stage .
Sehingga tidak mengherankan jika suatu saat kita
bertemu dengan seseorang yang berbeda jauh ketika berada di Twitter dengan
ketika berada di realitas nyata. Contohnya, seseorang yang kita lihat sangat
humoris dan banyak berbicara di dunia maya, tetapi ketika berinteraksi dalam
kehidupan nyata ternyata ia adalah sosok yang pemalu dan pendiam. Namun
biasanya yang dapat melihat peran back stage seseorang adalah
keluarganya, karena keluarga tentu sudah tahu sifat asli dari remaja tersebut.
Mereka tidak perlu membangun suatu panggung ketika berinteraksi dengan keluarga
nya sendiri.
Para penonton remaja yang sedang berakting di front
stage seringkali tertipu dan tidak dapat lagi membedakan apakah kehidupan
serta image seorang remaja yang mereka lihat di sebuah media sosial
adalah diri mereka yang sebenarnya atau yang palsu. Di tengah kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi, realitas telah hilang dan menguap. Kini
kita hidup di zaman simulasi, di mana realitas tidak hanya diceritakan,
dipresentasikan, dan disebarluaskan namun juga dapat direkayasa, dibuat dan
disimulasi. Baudrillard memandang era simulasi dan hiper-realitas sebagai bagian
dari rangkaian fase citraan yang berturut-turut.
Baudrillard menyatakan bahwa kita terbiasa hidup dalam
cermin fantasi, dalam diri yang terbagi dan dalam alienasi. Saat ini kita hidup
dalam fantasi sebuah layar, dan jaringan. Seluruh mesin kita adalah layar-layar.
Kita pun akan menjadi layar dan interaksi manusia akan berubah menjadi
interaksi pada layar. Kita dalah citra bagi satu sama lain, dimana satu-satunya
takdir bagi sebuah mahluk citra adalah menjadi pengikut citra dalam layar.
Pernyataan Baudrillard bahwa “saat ini kita hidup
dalam fantasi sebuah layar, dari sebuah antarmuka, dalam persentuhan dan
jaringan,” sesuai dengan kenyataan bahwa manusia di masa kini yang terkoneksi
antara satu dengan yang lain melalui penggunaak smartphone maupun tablet meningkatkan
kemudahan manusia untuk terhubung pada manusia lain melalui jaringan internet
dan tentunya layar.
Manusia akhirnya menjadi teralienasi dengan lingkungan
sosial dengan lingkungan sekitar mereka, karena mereka sibuk dengan gadget
masing-masing. Mereka terjebak dalam pencitraan di dunia virtual, baik dalam
menciptakan citranya sendiri maupun dalam memandang manusia lain. Ini pun
sesuai dengan pernyataan Baudrillard, “kita terbiasa hidup dalam cermin
fantasi, dalam diri yang terbagi dan dalam alienasi.”
Manusia saat ini terhubung dengan berbagai aplikasi media sosial yang
membantu mereka untuk terhubung dengan manusia lain yang bisa berjarak ribuan
mil melalui layar dan jaringan. Namun pada saat yang sama membuat jarak dengan
mereka yang dekat dan mengalienasi mereka dengan lingkungan sosialnya. Manusia
pun terjebak menjadi mahluk citra, baik dalam artian secara harfiah maupun
secara kiasan.
sumber http://mudazine.com/